Test midle sidebar

Home » » Sejarah Perkembangan logika; PENGANTAR ILMU MANTIQ (LOGIKA)

Sejarah Perkembangan logika; PENGANTAR ILMU MANTIQ (LOGIKA)


Sejarah Perkembangan Logika
Sejarah Perkembangan Logika
1. Asal Usul
Logika ada semenjak manusia ada di dunia, walaupun dalam tingkat yang sederhana, dalam kehidupan manusia pasti mempraktikkan hukum berpikir, persoalannya..  Manusia itu tidak menyadari ia telah melakukan kegiatan berpikir.
Hal yang seperti itu disebut sebagai logika naturalis atau logika alamiah.
Manusia berkembang semakin kompleks. Sejalan dengan itu manusia seringkali mengalami kesulitan dalam melakukan olah pikir untuk menyelesaikan maslahnya.
Masalah yang konpleks itu terpecahkan secara benar, maka manusia membuat aturan-aturan  berpikir, hal inilah yang biasa dikenal dengan sebutan logika artificialis / logika buatan
2. Zaman Yunani
Sebagaimana ilmu lainnya, pemikiran ttg logikapun berawal dari Yunani, semenjak zaman Kuno Yunani orangnya pun telah mengusahakan tentang logika artificialis
a. Zaman Sophistika (abad ke 5 SM) telah tercatat dan menalarkan hukum berpikir yang bertujuan awalnya hanya untuk mencari kebenaran, tetapi bergeser diplesetkan dalam pengertian politis, yaitu ingin mencari kemenangan dalam sebuah perselisihan.
Contoh:
Bentuk pemikiran yang diusahakan masa lalu hanyalah pada permainan kata-kata demi kemenangan dalam perselisihan
-         Barangsiapa yang lupa itu bodoh
-         Barangsiapa yang banyak belajar, banyaklah   tahunya dan banyaklah lupanya
-         Maka orang yang banyak belajar akan makin bodoh
b. Socrates, Plato dan Aristoteles
Permainan kata kaum shopistika menimbulkan reaksi dikalangan filsuf, dengan diawali Socrates (469 – 399 sm) membangun logika dalam arti yang benar sebagai kritik terhadap kaum shopistika.
Usaha Socrates dilanjutkan oleh muridnya Plato (427 – 347 sm) berlanjut ke Aristoteles dan berhasil menyusun logika yang hingga saat ini dipakai dalam ilmu pengetahuan. Selanjutnya disebut Logika Aristoteles yang buah pikirannya disebut Organon yang berarti alat untuk mencapai pengetahuan yang benar.
      Posisi Aristoteles sebagai guru Alexander (putra raja Macedonia, Philip) dan guru filsafat di sekolah yang didirikannya di Athena, the Lyceum, menjadikan pemikirannya banyak dikenal di tengah-tengah masyarakat Yunani.
      Logika Aristoteles mendapatkan tempat yang sangat prestis khususnya dalam dunia pengetahuan. Logika Aristoteles telah mampu merapikan ‘muntahan ide’ Plato yang terabadikan dalam “dialog”nya. Pemikirannya mampu menghegemoni rasionalitas bangsa Yunani, bahkan seolah-olah menutup bayang-banyang dua filsuf besar sebelumya, Socrates dan Plato.
      Masyarakat Yunani menganggap Aristoteles sebagai Tuhan dan Dewa rasionalitas. Jargon rasionalitasnya mampu meluluhkan ilmuwan pada zamannya demi mengungkap hakekat sebuah kebenaran. Rasionalitas dalam ilmu akan selalu diagungkan seperti halnya demokrasi dalam politik.
Logika Aristoteles
      Perumusan logika oleh Aristoteles sebagai dasar ilmu pengetahuan secara epistemologi bertujuan untuk mengetahui dan mengenal cara manusia mencapai pengetahuan tentang kenyataan alam semesta -baik sepenuhnya atau tidak- serta mengungkap kebenaran. Akal menjadi sebuah neraca, karena akallah yang paling relevan untuk membedakan antara manusia dengan segala potensi yang dimilikinya dari makhluk lain.
      Wa Ja’ala Lakum al-Sam’a wa al-Abshâr wa al-Af`idah” ( QS: 67 Ayat 23). Oleh Ibnu Khaldun kata “af`idah” bermakna akal untuk berfikir yang terbagi dalam tiga tingkatan.

Tingkatan Akal Menurut Ibn Khaldun
      Pertama, akal yang memahami esensi di luar diri manusia secara alami. Mayoritas aktifitas akal di sini adalah konsepsi (tashawwur), yaitu yang membedakan apa yang bermanfaat dan apa yang membawa petaka.
      Kedua, akal yang menelorkan gagasan dan karya dalam konteks interaksi sosial. Aktvitas akal di sini adalah sebagai legalitas (tashdiq) yang dihasilkan dari eksperimen. Sehingga akal di sini disebut sebagai akal empirik.
      Ketiga, akal yang menelorkan ilmu dan asumsi di luar indera, lepas dari eksperimen empirik atau yang biasa disebut “akal nazhari”. Di sini konsepsi (tashawwur) dan legalitas (tashdiq) berkolaborasi untuk menghasilkan konklusi.
            Aristoteles mengenalkan logika sebagai ilmu (logica scientica), logika disebut analitica, yang meneliti berbagai argumentasi berdasarkan proposisi yang benar sedangkan dialektika meneliti argumen yang proposisinya masih diragukan kebenarannya. Inti logika Aristotels adalah silogisme.                                      
       Buku Aristotels to Oraganon (alat):
    1. Categoriae tentang pengertian.
    2. De interpretatiae tentang keputusan.
    3. Analytica Posteriora tentang pembuktian
    4. Analytica Priora tentang silogisma
    5. Topica tentang argumentasi dan metode berdebat
    6. De sophisticis elenchis tentang kesesatan
Pelopor Logika
§      Plato (427SM – 347SM).
§      Theophrastus (370SM – 288SM), mengembangkan logika Aristoteles
§      Zeno (334SM – 226SM) mengenalkan istilah logika.
§      Galenus (130 – 210) dan Sextus Empiricus (200) dua orang dokter medis mengembangkan logika menggunakan metode geometri dan mengenalkan sistematisasi logika.
§      Porohyus (232 – 305) membuat pengantar pada Categoriae.
§      Boethius (480 – 524) menerjemahkan Eisagoge Porphyrius dalam bahasa Latin dan mengomentari.
§      Johanes Damascenus (674 – 749) menerbitkan Fons Scienteae.
c. Abad Pertengahan (800 – 1600 m)
Masa ini logika dikembangkan dan dihargai, orang Erofa belajar dengan orang Islam. Diantaranya dinasti Abasiyah dikenal Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd dengan mengajarkan logika yang berasal dari Aristoteles, namun karena ajaran mereka sudah tidak murni lagi, maka orang Erofa pada abad ke 13 mencari sumber aslinya.
Aristoteles dianugrahkan sebagai bapak Logika, di abad pertengahan dikembangkan logika modern, hingga dewasa ini logika dikembangkan menjadi sebuah ilmu pengetahuan yang luas.
      Perkembangan ilmu berawal dari penerjemahan gede”an masa Al-Ma’mun (dimulai masa al-Mansur) dari Dinasti Abbasiyah. Ketika itu, Al-Ma’mun bermimpi bertemu dg Aristoteles. Perbincangan mereka mengarah pd sumber kebenaran adlh akal. Al-Ma’mun mengirim delegasi ke Roma guna mempelajari bbrp ilmu kemudian diterjemahkan ke dlm bhs Arab. Yahya bin Khalid bin Barmak ‘Sang Hero’ pd masa itu, karena dia telah berhasil membujuk bahkan membebaskan karya para intelektual Yunani dari genggaman Romawi. Hal yg ditakutkan oleh Raja Romawi dari karya para intelektual Yunani adah ketika buku” tersebut dikonsumsi rakyatnya dan mulai tersebar maka agama Nasrani kemungkinan akan ditinggalkan, dan kembali pd agama Yunani.
      Ilmu asing yang diadopsi Arab diklasifikasikan oleh Khawarizmi berjumlah sembilan cabang ilmu, dan mantik adalah salah satu di antaranya. Ayyub bin al-Qasim al-Raqi yang menerjemahkan Isagog dari bhs Suryani ke Arab yang awalnya telah diadopsi dari Madrasah Iskandariah.
      Pindahnya Madrasah Alexandria ke Syria membawa banyak pengaruh dalam dunia pengetahuan. Penertiban dan penyusunan ketika itu menjadikan logika sebagai pedoman dan ilmu dasar dalam bidang astronomi, kedokteran dan kalam yang berkembang pesat di Arab sekitar abad IX-XI M. Sarjana Islam mulai proaktif dalam mengembangkan ilmu yang bernafaskan sains, termasuk Ibnu Sina (1037 M.), seorang filsuf muslim yang juga dokter dan Abu Bakar al-Razi yang mengawali pembukuan ilmu kedokteran dan farmasi. Ibnu Rusyd (1198 M.) kemudian ikut andil dalam mengkolaborasikan logika Aristoteles dengan ilmu Islam termasuk filsafat dan nahwu. Al-Ghazali juga mulai mengkolaborasikan mantik dengan ilmu kalam pada periode selanjutnya.
      Dalam riwayat al-Qadli al-Sha’id al-Andalusi (1070 M./462 H.) dijelaskan, bahwa Ibnu Muqaffa’ (760 M./142 H.) diyakini sebagai penerjemah awal ilmu mantik. Ia telah menerjemahkan tiga buku karya Aristoteles yaitu, Categorias, Pario Hermenais, Analytica, serta Eisagoge karya Porphyry.
      Hunain bin Ishaq, salah satu ahli bhs, jg berpartisipasi menerjemahkn berbagai disiplin ilmu Yunani ke dlm bhs Arab. Bahkan Ishaq jg ikut menerjemahkan dari bhs Suryani. Dalam buku Thatawwur Mantiq al-Araby dijelaskan, sekitar tahun 800 M. adlh awal penerjemahan buku” Yunani.
      Organon adlh kitab pertama yg diterjemahkan ke Arab. Orang-orang Nasrani ketika itu jg banyak membantu dalam proses penerjemahan, yg secara tidak langsung pemikiran Aristoteles berkembang biak tidak hanya dlm kedokteran, astronomi dan matematika melainkan mulai menyentuh wilayah teologi Kristen.
      Sejak saat itu, mantik menjadi pemeran utama dlm ilmu kedokteran dan mulai berkembang dalam bahasa Arab sekitar abad ke-9 hingga abad ke-11 M. yg diprakarsai oleh Yahya bin Musawiyah, spesialis penerjemah ilmu kedokteran dari Yunani ke Arab.
      Hadirnya madrasah di Jundisapur (Persia) yg mengawali pelatihan penerjemahan dari teks Yunani pd awal abad pertama yg akhirnya berpindah ke Bagdad. Dari sinilah lahir sarjana muslim yang berkompetensi tinggi untuk mengenalkan mantik dalam ilmu keislaman, sebut saja Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Razi, Al-Ghazali dst.
      Stoicisme mengklasifikasikan ilmu menjadi 3, yaitu metafisika, dialektika dan etika. Dialektika adlh logika. Mereka cenderung memasukkan logika bagian dari Filsafat.
      Berbeda dg Ibnu Sina (1037 M.) dlm bukunya al-Isyârât wa al-Tanbîhât yg memisahkan logika sbgai ilmu independen sekaligus sbgai pengantar.
      Al-Farabi (950 M.) berpendapat bahwa mantik adalah Ra’îs al-‘Ulum yg independen. Keterpengaruhan mantik arab dengan neo-platonisme dan Aristoteles sangat jelas jika dilihat dlm hal ini, krn essensi logika itu sendiri adlh ketetapan hukum untk mengetahui sst yg belum diketahui.
Ibnu Khaldun mengklasifikasikan ilmu ada dua;
         pertama ilmu murni-independen (‘ulûm maqshûdah bi al-dzât) seperti ilmu syari’at yang mencakup ilmu tafsir, hadits, fikih dan kalam, dan ilmu filsafat yg mencakup fisika dan ketuhanan.
         Kedua, ilmu pengantar (âliyah-wasîlah) bagi ilmu-ilmu murni-independen, seperti bhs Arab dan ilmu hitung sebagai pengantar ilmu syari’ah, dan mantik sbg pengantar filsafat.
       Pengkajian ilmu pengantar hendaknya hanya sebatas kapasitasnya sebagai sebuah alat bagi ilmu independen. Jika tidak, ilmu alat atau pengantar akan keluar dari arah dan tujuan awal, dan bisa mengaburkan pengkajian ilmu-ilmu independen.
      Perjalanan mantik Arab mengalami sedikit goncangan dari ulama klasik. Bantahan dan sanggahan terhadap al-Kindi tak dapat dihindari. Menurut mereka belajar filsafat sama halnya belajar sesuatu yang menyesatkan. Parahnya, mereka mengklaim bahwa mempelajari filsafat dan mantik adalah bagian dari perbuatan setan.
      Imam al-Syafi’i banyak mengeluarkan hadist-hadist larangan terhadap pembacaan logika dan filsafat. Salah satunya berbunyi “akan dianggap bodoh lagi diperdebatkan bagi mereka yang mulai meninggalkan bahasa Arab dan berganti mempelajari filsafat Aristoteles”.
      Padahal Imam Syafi’i banyak menggunakan metode eksplorasi (istiqrâ`) untuk mengambil istinbath hukum. Ada pula riwayat yang berbunyi “barang siapa yang mempelajari logika, maka disamakan dengan kaum zindiq”. Intinya, menyatakan pelarangan terhadap mantik dan filsafat, seperti yang sudah dikemas oleh Syeikh Islam Ismail Harawi dalam periwayatannya.
      Kecaman dan penolakan terhadap mantik berawal ketika Al-Mutawakkil mulai menduduki kekhalifahan Abbasiyah (846 M/232 H). Penentang terbesar terhadap pemikiran Yunani adalah golongan teolog Asy’ariyah terutama Al-Ghazali (1059-1111 M).
      Mantik dan filsafat terus dikecam oleh doktrin ke-salafan, sampai pada akhirnya muncul Ibnu Rusyd pemikir besar Islam yang berani melawan mainstream tersebut dengan bukunya Tahâfut al-Tahâfut. Yang juga menjadi komentator atas aliran Aristoteles –selain Ibnu Sina dan Ibn Rusyd- adalah Suhrawardi dengan magnum opusnya “Hikmat al-Isyraq”, yang berisikan kritikan terhadap aliran Paripatetik dan filsafat materialisme yang dianut oleh aliran Stoicisme.
      Perlawanan terus berlanjut bahkan sampai puncaknya pada abad ke-13 dan ke-14 M. Apalagi setelah terbunuhnya filsuf muslim Sahruwardi pada akhir abad ke-12 M., muncul dua penentang papan atas yaitu, Ibnu Sholah (1244 M.) dan Ibnu Taimiyah (1328 M.). Adapun Ibnu Taimiyah melakukan pemboikotan terhadap buku-buku filsafat dan mantik, serta melontarkan predikat ‘kafir’ terhadap Ibnu Sina dalam bukunya “Majmu’ah Rasâ`il al-Kubrâ” (terbitan Kairo, hal 138).
      Pada masa inilah, pengikisan mantik mulai terlihat. Muncul setelahnya, abad ke-14 M. Imam Al-Dzahabi yang juga melakukan perlawanan terhadap perjalanan filsafat dan mantik Yunani. Hal-hal seperti itulah yang dilakukan ulama salaf guna membendung fitnah dalam pentakwilan teks-teks suci al-Qur’an dan Hadist.
      Al-Ghazali menyatakan bahwa teologi retoris sangat kering jika hanya berkutat dgn logika tanpa menyentuh epistem demonstratif, shg butuh sebuah upaya harmonisasi demi mencapai teologi yang mampu menghilangkan skeptisisme.
      Mantik dalam pandangan al-Ghazali terbagi dua, yaitu mantik Aristoteles yang mencakup segala pengetahuan kecuali teologis, dan mantik “kasyfi” yang hanya mencakup masalah ketuhanan.
      Menurut Ibnu Khaldun, logika empirik (mantiq hissi) juga dapat diklasifikasikan sebagai bagian dari mantik, yang mendasari problematika kemasyarakatan.
      Dalam ilmu kalam, al-Ghazali lebih mengunggulkan metode analogi (qiyâs) dari pd eksplorasi (istiqrâ’) karena dianggap tidak dapat membenarkan teori ketuhanan, terwujud dari ketidakseragaman antara dunia metafisis dan realita.
Perkembangan di Barat
      Pengaruh rasionalitas Aristoteles terhdp peradaban Eropa secara periodik terbagi 3, yaitu permulaan abad Masehi (abad ke-2 dan ke-3 M.) ; pertengahan abad (sekitar abad ke-13 - abad ke-16 M.)  ;  akhir abad ke-19 M.
      Otoritas gereja pd abadvpertengahan menghegemoni hampir semua wilayah Eropa dgmengusung etika rasional sbg titik tolak pemikiran, shg wahyu Tuhan seakan dipaksakan untuk memasuki wilayah akal. Inilah yg menimbulkan perpecahan dlm gereja.
      Abad ke-12 M, gereja mulai menerjemahkan karya sarjana Muslim yang berpusat di Spanyol dan Napoli. Orang Yahudi ketika itu banyak mempelopori penerjemahan kitab kedokteran, logika, matematika, astronomi dan filsafat. Buku filsafat pertama yang diterjemahkan adalah al-Syifa’ karya Ibnu Sina (1037 M.) yang sangat melegenda kemudian mulai melebarkan sayap terhadap karya Al-Farabi dan Al- Kindi.
      Adopsi karya” tersebut didukung dg hadirnya Madrasah Paris yg sedang naik daun dan dpt ‘restu’ dari Raja Philip dan Agustus. adopsi karya sarjana muslim tidak berjalan mulus bahkan mendapatkan penyangkalan dan pembantahan dari pihak gereja yang masih fundamentalis yg dianggp berlawanan dg hasil konsensus gereja, maka secara resmi gereja mengeluarkan pelarangan dan pemboikotan terhadap karya Aristoteles pada tahun 1210 M.
      Kemudian menerjemahkan karya Aristoteles langsung dari buku Yunani, inilah yg banyak membantu Thomas Aquinas dlm pembaruan gereja. Di sinilah awal permulaan terbaginya madrasah Eropa menjadi empat pusat keilmuwan, yaitu madrasah Agustine, Dominika, Rasional Latin dan Oxford.
Logika Modern
q      Buku-buku Aristotels masih digunakan
q      Thomas Aquinas (1224-1274) mengadakan sistematisasi logika
q      Tokoh-tokoh Logika Modern
q     Petrus Hispanus (1210-1278)
q     Roger Bacon (1214-1292)
q     Raymundus Lullus (1232-1315) menemukan Ars Magna sejenis aljabar pengertian.
q     William Ocham (1295-1349)
q     Thomas Hobbes (1588-1626) menulis Leviatan dan John Locke (1632-1704) menulis An Essay Concerning Human Understanding.
q     Francis Bacon (1561-1626) mengembangkan logika induktif dengan bukunya Novum Organum Scientarium.
q     J.s. Mills (1806-1873) menekankan pada pemikiran induksi dalam bukunya System of Logic.
q     Tokoh-tokoh Logika Simbolik
q     G.W. Leibniz (1646-1716)
q     George Boole (1815-1864)
q     John Venn (1834-1923)
q     Gottlob Frege (1848-1925)
q     Chares Sandres Peirce (1839-1914) filsuf USA memperkenalkan dalil Peirce.
q     Alfred North Whitehead (1861-1914) dan Bertrand Arthur William Russel (1872-1970) puncak kejayaan logika simbolik dengan terbitnya Principia Mathematica.
q     Ludwig Wittgenstain (1889-1951), Rudolf Carnap (1891-1970), Kurt Godel (1906-1978), dll

q     Logika sebagai matematika murni, matematika adalah logika yang tersistimatisasi, matematika adalah pendekatan logika kepada metode ilmu ukur menggunakan simbol-simbol matematik (logika simbolik). Logika tersistimatisasi dikenalkan oleh Galenus dan Sextus Empiricus.
      Pada hakekatnya relasi mantik dan filsafat tidak akan terpisahkan, karena ‘berfilsafat’ harus menggunakan akal sehat dg melepas subjektifitas. Sedangkan agama dasar utamannya adalah kekuatan iman, bukan akal.
      Pergolakan iman Kristiani banyak tercabik-cabik dalam pertengahan abad pertama, yaitu dg munculnya asumsi gereja yg menyatakan tidak adanya filsafat dlm agama krn itu sangat mustahil. Melihat tujuan utama agama nasrani adalah “fikratul khallash”, yg menurut sebagian tokoh gereja tidak ada sangkut-pautnya dengan filsafat.
      Berbeda dg pemikiran Agustine yang banyak menghubungkan wilayah agama dan rasionalitas. Dalam bukunya “De Civitate Dei” dikatakan bahwa filsafat Kristen adalah cinta akan kebenaran, dan kebenaran merupakan ‘kalimah’ yg menyatu dlm tubuh al-Masih. Argumen selanjutnya, Agustine tidak mengakui otoritas wahyu, karena nasrani adalah agama yang rasional.
      Agustine menjelaskan korelasi antara rasionalitas dan iman, bahwa fungsi akal mendahului iman (Ratio antecedit fidem) guna menjelaskan nilai-nilai kebenaran dalam akidah, sedangkan tujuan iman mendahului akal (Credo ut intelligam) hukumnya wajib agar akal digunakan untuk memikirkan akidah.
      Dan dari sini dapat ditarik benang merah bahwa tujuan hakiki filsafat adalah bukan berpikir untuk berakidah, melainkan berakidah untuk berpikir. Hal ini sangat berlawanan dengan pernyataan Thomas Aquinas (1274 M.), bahwa berpikir merupakan titik pemberangkatan untuk berakidah.
      Pemisahan rasionalitas dengan agama juga menjadi bahasan utama oleh Dr. Zaki Najib Mahmud, sejatinya agama berangkat dari wahyu disertai nash-nash ilahiyah yang terjaga, maka ketika membahas ‘rasionalitas agama’ lebih ditujukan kepada proses penalaran yang berangkat dari agama. Nash agama selalu bersifat tunggal, tetapi nash yang berangkat dari penalaran agama akan bervarian selaras dengan perbedaan segi pandangan akal terhadap agama.
      Zaman Renaissance adalah yang menjembatani perkembangan rasionalitas dari abad pertengahan ke era modern sekitar tahun 1400-1600 M. dengan tokoh utama Francis Bacon (1562-1626 M.), Nicollo Machiavelli (1469-1527 M.). Mereka mulai menguak kebudayaan klasik Yunani-Romawi kuno yang dihidupkan kembali dalam kesusastraan, seni dan filsafat. Jargon utamanya adalah “Antroposentris” ala mereka, pusat perhatian pemikiran tidak lagi wilayah kosmos, melainkan manusia. Mulai sekarang manusialah yang dianggap sebagai titik fokus dari kenyataan.
sumber : 

0 komentar:

Posting Komentar

Health