KEBIJAKAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI
INDONESIA
A.
PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan sesuatu yang
mesti ada dalam hidup dan kehidupan dan ia adalah way of live, suatu jalan
hidup manusia. Dan ada asumsi life is education and eduction is life dalam arti
pendidikan merupakan persoalan hidup dan kehidupan, dan seluruh proses hidup
dan kehidupan manusia adalah proses pendidikan maka pendidikan Islam pada
dasarnya hendak mengembangkan pandangan hidup islami yang diharapkan tercermin
dalam sikap hidup dan keterampilan hidup orang Islam.
Pendidikan Islam di Indonesia telah
berjalan sesuai dengan masuknya ke Indonesia. Islam masuk ke Indonesia
bersamaan dengan datangnya para penyebar agama melalui jalur perdagangan. Para
penyebar agama yang notabene sebagai pedagang tersebut, telah melakukan
hubungan dan komunikasi dengan para pribumi di Bandar-bandar yang didatangi
oleh pedagang, dengan membawa nilai-nilai islam dalam hidup dan kehidupannya,
sehingga banyak dari warga pribumi yang memeluk agama Islam. Islam tidak hanya
dalam teori-teori saja, namun diaplikasikan oleh para penyebar agama dan
berkembang untuk menanamkan agama kepada anak keturunannya. Pendidikan sebagai
sarana untuk mengkristalisasikan nilai-nilai agama pada generasi baru yang akan
menggantikan para praktisi-praktisi pada zamannya.
Pendidikan Islam yang berkembang
dari awal masuknya ke Indonesia, telah membawa perubahan besar bagi bangsa
Indonesia. Pesantren merupakan sarana pendidikan Islam yang pertama ada di
Indonesia. Pendidikan Islam telah berlangsung lama dan telah mampu mengambil
hati para masyarakat, sehingga penduduk Indonesia hampir 100 % menganut agama
Islam, hal ini merupakan salah satu jasa dari pendidikan. Waktu tetap
berjalan dan pendidikan Islam telah menempati posisi kedua setelah pendidikan
umum. Pendidikan umum atau sekuler telah berkembang dari politik etis yang
dilakukan oleh pihak penjajah sebagai balas jasa atas kebaikan-kebaikan yang
telah diambil dari bangsa Indonesia.
Lalu bagaimana perhatian pemerintah
terhadap perkembangan pendidikan Islam di Indonesia. Dalam hal ini, kami
kelompok dua akan membahas apa pengertian pendidikan agama Islam, urgensi dan
ruang lingkup serta kebijakan pemerintah terhadap Pendidikan agama Islam.
B.
PEMBAHASAN
a.
Pengertian
Pendidikan Agama Islam
Pendidikan Islam menurut Hasan
Langgulung setidak-tidaknya tercakup dalam 8 pengertian, yaitu al-tarbiyah al
diniyah (pendidikan keagamaan), ta’lim al-din (pengajaran agama), ta’lim
al-diny (pengajaran keagamaan), al-ta’lim al-islami (pengajaran keislaman),
tarbiyah al-muslimin (pendidikan orang-orang islam), al tarbiyah fi al- islam
(pendidikan dalam islam), al tarbiyah ‘indza al muslimin (pendidikan dikalangan
orang-orang Islam), dan al tarbiyah al-islamiyah (pendidikan Islam).[1]
Dalam GBPP PAI di sekolah umum,
dijelaskan bahwa pendidikan agama Islam adalah usaha sadar untuk menyiapkan
siswa atau peserta didik dalam meyakini, memahami, menghayati, dan mengamalkan
agama Islam melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan latihan dengan
memperthatikan tuntunan untuk menghormati agama lain dalam hubungan kerukunan
antar umat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan persatuan nasional.[2]
Dan menurut Abdul Rahman Shaleh dalam bukunya pendidikan agama dan keagamaan
menyatakan pendidikan Islam merupakan usaha sadar untuk mengarahkan pertumbuhan
dan perkembangan anak dengan segala potensi yang dianugerahkan oleh Allah
kepadanya agar mampu mengemban amanat dan tanggungjawab sebagai khalifah Allah
di bumi dalam pengabdian kepada Allah.[3]
b.
Tujuan
Pendidikan Agama Islam
Visi dasar pendidikan nasional
adalah bagaimana agar manusia Indonesia cerdas dan memiliki keunggulan
dalam segala bidang. Dan bila ditelaah visi pendidikan nasional yang dirumuskan
dalam Renstra Depdiknas. Pertama, cerdas spiritual (olah Hati) dirumuskan
dengan beraktualisasi diri melalui hati/ kalbu untuk menumbuhkan dan
memperkuat keimanan, ketakwaan dan akhlak mulia termasuk budi pekerti luhur dan
kepribadian unggul.
Kedua, cerdas emosional dan social
(olah rasa). Beraktualisasi diri melalui olah rasa untuk meningkatkan
sensivitas dan apresiasi akan kehalusan dan keindahan seni dan budaya, serta
kompetensi untuk mengekspresikannya. Beraktualisasi diri melalui interaksi
social yang membina dan memupuk hubungan timbal balik, demokrasi, empatik dan
simpatik, menjunjung tinggi hak asasi manusia,eria dan percaya diri, menghargai
kebinekaa dalam bermasyarakat dan bernegara serta berwawasan serta kesadaran
akan hak dan kewajiban warga Negara.
Ketiga, cerdas intelektual (olah
pikir). Beraktualisasi diri melalui olah pikir untuk memperoleh
kompetensi dan kemandirian dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Aktualisasi
insan intelektual yang kritis, kreatif dan imajinatif.
Keempat, kompetitif berkepribadian
unggul dan gandrung akan keunggulan dan bersemangat juang tinggi, mandiri,
pantang menyerah, pembangunan dan pembinaan jejaring,bersahabat dengan
perubahan, produktif, sadar mutu, berorientasi global, pembelajaran spanjang
hayat.[4]
Adapun secara umum, pendidikan agama
Islam bertujuan untuk “Meningkatkan keimanan, pemahaman, penghayatan, dan
pengamalan peseerta didik tentang agama Islam sehingga menjadi manusia muslim
yang beriman dan bertakwa kepada Allah swt serta berakhlak mulia dalam
kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.[5]
Dari tujuan tersebut diatas dapat ditarik beberapa dimensi yang hendak
ditingkatkan dan dituju oleh kegiatan pembelajaran pendidikan agama Islam,
yaitu:
1.
Dimensi
keimanan peserta didik terhadap ajaran agama Islam
2.
Dimensi
pemahaman atau penalaran (intelektual) serta keilmuan peserta didik terhadap
ajaran agama Islam
3.
Dimensi
penghayatan atau pengalaman batin yang dirasakan peserta didik dalam
menjalankan ajaran Islam dan
4.
Dimensi
pengamalannya, dalam arti bagaimana ajaran Islam yang telah diimani,
pahami dan dihayati atau diinternalisasi oleh peserta didik itu mampu
menumbuhkan motivasi dalam dirinya untuk menggerakkan dan mengamalkan, dan
menaati ajaran agama dan nilai-nilainya dalam kehidupan pribadi, sebagai
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Allah swt serta mengaktualisasikan dan
merealisasikannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Singkatnya dari uraian diatas adalah
agar siswa atau peserta didik memahami, menghayati, meyakini, dan mengamalkan
ajaran Islam sehingga menjadi manusia muslim yang beriman, bertakwa kepada
Allah swt dan berakhlak mulia.[6]
c.
Urgensi
Pendidikan Agama Islam
Proses pendidikan merupakan kesatuan
antara teori dan praktik pendidikan. Praksis pendidikan yang merupakan kesatuan
antar teori dan praktik meliputi unsur-unsur sebagai berikut: dalam
lingkup teori dirumuskan gambaran manusia mengenai visi, misi dan
program-program pelaksanaan untuk mewujudkan visi dan misi tersebut. Disamping
aspek-aspek teoritis terdapat aspek pelaksanaan atau praktik dari tindakan
pendidikan.[7]
Agama Islam adalah agama samawi,
agama yang datang dari langit merupakan wahyu dari Allah swt untuk kehidupan
umat manusia. Perlu banyak pemikiran agar nilai-nilkai ilahiyah dapt
dijustifikasi/ diamalkan oleh umat manusia sebagai pedoman dan dasar dalam
hidup dan kehidupannya. Oleh karena itu pembelajaran agama Islam adalah suatu
upaya membuat peserta didik dapat belajar, butuh belajar, terdorong belajar,
mau belajar dan tertarik untuk terus-menerus mempelajari agama Islam, baik
untuk kepentingan mengetahui bagaimana cara beragama yang benar maupun
mempelajari Islam sebagai pengetahuan.[8]
M. Tholhah Hasan mengatakan, bahwa
tujuan makro pendidikan Islam dapat dipadatkan menjadi tiga macam, yaitu:
1)
Untuk
meyelamatkan dan melindungi fitrah manusia
2)
Untuk
mengembangkan potensi-potensi fitrah manusia
3)
Untuk
menyelaraskan perjalanan fitrah mukhallaqah (fitrah yang diciptakan oleh
Allah swt pada manusia, yang berupa naluri, potensi jismiyah, nafsiyah,
aqliyah, dan qolbiyah) dengan rambu-rambu fitrah munazzalah (fitrah yang
diturunkan oleh Allah swt sebagai acuan hidup, yaitu agama) dalam semua aspek
kehidupan, sehingga manusia dapat lestari hidup di atas jalur yang benar, atau
di atas jalur “As-Shirath al Mustaqim”.[9]
d.
Ruang
Lingkup Pendidikan Agama Islam
1)
Ruang
Lingkup Dinul Islam
Ruang
lingkup dinul Islam mencakup sarana dan prasarana, amalan ibadah dan
batas-batas dinul Islam. Sarana dan prasarana apa saja yang dibutuhkan, amalan
ibadah yang bagaimana yang harus dikerjakan serta batas-batas mana yang wajib
dijauhi oleh setiap muslim, inilah ruang lingkup dinul Islam. Untuk mengetahui
ruang lingkup dinul Islam, berikut ini diuraikan sebuah Hadist Rasulullah SAW
serta sejarah disabdakannya (as babul wurudnya) :
”Pada suatu
hari, kami (Sayyidina Umar r.a. dan para Sahabat) duduk – duduk bersama
Rasulullah SAW, lalu muncul dihadapan kami seroang yang berpakaian putih.
Rambutnya hitam sekali dan tidak tampak tanda-tanda perjalanan. Tidak seorang
pun dari kami yang mengenalnya. Dia langsung duduk menghadap Rasulullah dan
kedua telapak tangannya diletakkan diatas paha Rasulullah SAW, seraya berkata :
”Ya Muhammad, beritahu aku tentang Islam.” lalu Rasulullah SAW menjawab :
”Islam ialah bersyahadat bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad
Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan mengerjakan
haji apabila mampu.” Setelah itu dia bertanya lagi : ”Kini beritahu aku tentang
iman.” Rasulullah SAW menjawab : ”Beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, hari kiamat dan beriman kepada qadar baik dan
buruknya.” orang itu lantas berkata : ”Beritahu aku tentang ikhsan.” Rasulullah
menjawab : ”Beribadah kepada Allah seolah-lah anda melihat-Nya walaupun anda
tidak melihat-Nya, kerena sesungguhnya Allah melihat anda.” Dia bertanya lagi :
”Beritahu aku tentang Assa’ah (azab kiamat).” Rasulullah menjawab : ”Yang ditanya
tidak lebih tahu dari yang bertanya.” setelah itu dia betanya lagi : ”Beritahu
aku tentang tanda-tandanya.” Rasulullah menjawab : ”Seorang budak wanita
melahirkan nyonya besarnya. Orang-orang tanpa sandal, setengah telanjang,
melarat dan penggembala unta masing-masing berlomba membangun gedung – gedung
bertingkat.” setelah itu oran gitu pergi menghilang dari padangan mata, lalu
Rasulullah SAW bertanya kepada Sayyidina Umar r.a. : ”Hai Umar, tehukah kamu
siapa orang yang bertanya tadi?” lalu aku (Umar r.a.) menjawab : ”Allah dan
Rasulnya lebih mengetahui.” Rasulullah SAW lantas berkata : ”Itulah Jibril
datang untuk mengajarkan agama kepada kalian.” (HR. Muslim)
Dari kisah
tersebut dapat diketahui bahwa ruang lingkup dinul Islam meliputi rukun Islam,
rukun iman dan ihsan. Ihsan merupakan masalah pengabdian, ketaatan kepada
Allah, Rasul dan sesama makhluk. Ibadah ’am (umum) atau setiap ibadah termasuk
dalam ihsan yang menumbuhkan takwa, keikhlasan dan kesadaran. Peringatan
Rasulullah SAW tentang hancurnya lingkungan akibat umat lalai terhadap hari
akhir.
2)
Perhatikan
Firman Allah SWT :
”Dan carilah pada apa yang telah
dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat dan janganlah kamu
melupakan kebahagiaanmu, (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklat (kepada orang
lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuata
kerusakan di muka bumi sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berbuat kerusakan.” (QS. Al-Qasas : 77)
Adapun yang
menjadi batas-batas dinul Islam ialah segala yang berakibat kerusakan, baik
terhadap diri sendiri maupun masyarakat dan lingkungan. Demikian juga yang
dilarang dan diharamkan sebab semua itu mendatangkan kerusakan.
3)
Bersabda
Rasulullah SAW “ :”..... dan sesungguhnya bagi setiap Raja memiliki
batas berupa larangannya. Ingatlah larangan Allah adalah apa-apa yang
diharamkan-Nya....” (HR. Bukhari dan Muslim)
4)
Ciri –
Ciri Dinul Islam.
Dinul Islam
memiliki ciri-ciri khusus yang menunjukkan adanya perbedaan agama Islam dengan
agama lainnya di dunia ini. Ciri-cirinya adalah Islam sebagai agama fitrah,
penyempurnaan agma lain, pendorong kemajuan dan sebagai pedoman hidup.[10]
Dalam mencapai tujuan,
pendidikan agama Islam pada dasarnya mencakup tujuh unsur pokok, yaitu
al-qur’an-hadis, keimanan, syari’ah, ibadah, mu’amalah,, akhlak dan tarikh (Sejarah
Islam) yang menekankan pada perkembangan politik.
C.
Kebijakan
Pemerintah Terhadap Pendidikan Agama
Islam
Pendidikan agama Islam untuk umum
mulai diatur secara resmi oleh pemerintah pada bulan Desember 1946. sebelum itu
pendidikan agama sebagai ganti pendidikan budi pekerti yang sudah ada sejak
zaman Jepang, berjalan sendiri-sendiri di masing-masing daerah. Pada bulan
tersebut dikeluarkanlah peraturan bersama dua menteri yaitu Menteri Agama dan
Menteri Pendidikan dan Pengajaran yang menetapkan bahwa pendidikan agama
dimulai pada kelas IV SR (Sekolah Rakyat) sampai kelas VI. Pada masa itu
keadaan keamanan Indonesia belum mantap, sehingga SKB dua menteri tersebut
belum berjalan sebagaimana mestinya. Daerah-daerah di luar Jawa masih banyak
yang memberikan pendidikan agama sejak kelas I SR. Pemerintah membentuk Majlis
Pertimbangan Pengajaran Agama Islam pada tahun 1947 yang dipimpin oleh Ki Hajar
Dewantara dari Departemen P dan K dan Prof. Drs. Abdullah Sigit dari departemen
Agama. Tugasnya adalah ikut mengatur pelaksanaan dan materi pengajaran
pengajaran agama yang diberikan di sekolah umum.
Pada tahun 1950 di mana kedaulatan
Indonesia telah pulih untuk seluruh Indonesia, maka rencana pendidikan agama
untuk seluruh wilayah Indonesia makin disempurnakan dengan dibentuknya panitia
bersama yang dipimpin Prof. Mahmud Yunus dari Departemen Agama dan Mr. Hadi
dari Departemen P dan K, hasil dari panitia itu adalah SKB yang dikeluarkan
pada bulan Januari 1951, Nomor: 1432/Kab. Tanggal 20 Januari 1951 (Pendidikan),
Nomor K 1/652 tanggal 20 Januari 1951 (Agama), yang isinya adalah:
1.
Pendidikan
agama mulai diberikan di kelas IV Sekolah Rakyat.
2.
Di
daerah-daerah yang masyarakat agamanya kuat, maka pendidikan agama mulai
diberikan pada kelas I SR, dengan catatan bahwa pengetahuan umumnya tidak
berkurang dibandingkan dengan sekolah lain yang pendidikan agamanya dimulai
pada kelas IV SR.
3.
Di sekolah
lanjutan pertama atau tingkat atas, pendidikan agama diberikan sebanyak dua jam
dalam seminggu.
4.
Pendidikan
agama diberikan pada murid-murid sedikitnya 10 orang dalam satu kelas dan
mendapat izin dari orang tua atau wali.
5.
Pengangkatan
guru agama, biaya pendidikan agama, dan materi pendidikan agama ditanggung oleh
Departemen Agama.
Untuk menyempurnakan kurikulumnya,
maka dibentuk panitia yang dipimpin oleh KH. Imam Zarkasyi dari Pondok Gontor
Ponorogo. Kurikulum tersebut disahkan oleh Menteri Agama pada tahun 1952.
Dalam sidang pleno MPRS, pada bulan
Desember 1960 diputuskan sebagai berikut: “Melaksanakan Manipol Usdek di bidang
mental, agama, dan kebudayaan dengan syarat spiritual dan material agar setiap
warga negara dapat mengembangkan kepribadiannya dan kebangsaan Indonesia serta
menolak pengaruh-pengaruh buruk budaya asing (Bab II, Pasal II: I).
Dalam ayat 3 dari pasal tersebut
dinyatakan bahwa: “Pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah
umum, mulai dari sekolah rendah sampai universitas. Dengan pengertian bahwa
murid berhak ikut serta dalam pendidikan agama jika wali murid atau murid
dewasa tidak menyatakan keberatannya”.
Pada tahun 1966, MPRS melakukan
sidang, suasana pada waktu itu adalah membersihkan sisa-sisa mental G-30 S/
PKI. Dalam keputusannya di bidang pendidikan agama telah mengalami kemajuan
yaitu dengan menghilangkan kalimat terakhir dari keputusan yang terdahulu. Dengan
demikian maka sejak tahun 1966 pendidikan agama menjadi hak wajib para siswa
mulai dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi Umum Negeri di seluruh
Indonesia.[11]
Dari beberapa pemaparan di atas
tentang kondisi dan beberapa kebijakan pendidikan Islam di era Orde Lama,
seperti fatwa para ulama di pulau Jawa tentang kewajiban berjihad, SKB dua
menteri, keputusan MPRS tahun 1966, dan kiprah Departemen Agama dalam memenuhi
kebutuhan akan guru agama dapat disimpulkan bahwa pemerintah pada masa
itu telah memberikan perhatian terhadap pengembangan pendidikan Islam.
Kebijakan pemerintah terhadap
pendidikan agama juga dapat dilihat dalam PP 55 TAHUN 2007 Pasal 5; ayat 1-9: yang berbunyi:
(1) Kurikulum pendidikan agama dilaksanakan sesuai Standar Nasional Pendidikan.
(2) Pendidikan agama diajarkan sesuai dengan tahap perkembangan kejiwaan
peserta didik.
(3) Pendidikan agama mendorong peserta didik untuk taat menjalankan ajaran
agamanya dalam kehidupan sehari-hari dan menjadikan agama sebagai landasan
etika dan moral dalam kehidupan pribadi, berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara.
(4) Pendidikan agama mewujudkan keharmonisan, kerukunan, dan rasa hormat
diantara sesama pemeluk agama yang dianut dan terhadap pemeluk agama lain.
(5) Pendidikan agama membangun sikap mental peserta didik untuk bersikap dan
berperilaku jujur, amanah, disiplin, bekerja keras, mandiri, percaya diri,
kompetitif, kooperatif, tulus, dan bertanggung jawab.
(6) Pendidikan agama menumbuhkan sikap kritis, inovatif, dan dinamis, sehingga
menjadi pendorong peserta didik untuk memiliki kompetensi dalam bidang ilmu
pengetahuan, teknologi, seni, dan/atau olahraga.
(7) Pendidikan agama diselenggarakan secara interaktif, inspiratif,
menyenangkan, menantang, mendorong kreativitas dan kemandirian, serta
menumbuhkan motivasi untuk hidup sukses.
(8) Satuan pendidikan dapat menambah muatan pendidikan agama sesuai kebutuhan.
(9) Muatan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dapat berupa tambahan materi, jam
pelajaran, dan kedalaman materi.
Paparan
ayat-ayat dari pasal 5 UU no 55 tahun 2007, merupakan perhatian pemerintah
terhadap agama yang ada di Negara Indonesia dalam memberikan
kebijakan-kebijakan terhadap pembinaan dan pengajaran serta pendidikan agama
bagi masyarakat Indonesia yang menjadi syarat bahwa bangsa Indonesia harus
meyakini kepada Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan dasar Negara yang termaktub
dalam UUD 1945 dan Pancasila. Demikian pula kebijakan pemerintah dalam kaitannya
dengan pendidikan agama Islam, yang melingkupi kebanyakan masyarakat Indonesia,
dapat dilihat dari UU no. 55 Tahun 2007 pada pasal 14; ayat 1,2,3:
(1)
Pendidikan keagamaan Islam berbentuk pendidikan diniyah dan pesantren.
(2)
Pendidikan
diniyah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan pada jalur formal,
nonformal, dan informal.
(3)
Pesantren dapat menyelenggarakan 1 (satu) atau berbagai satuan dan/atau
program pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal.
Adapun kebijakan pemerintah
terhadap pendidikan agama Islam untuk jalur formal dapat dilihat dari pasal 15, pasal 16, ayat 1, 2, 3 dan pasal 17, ayat 1, 2, 3,
4 pasal 18, ayat 1, 2
pasal 19, ayat 1, 2 dan pasal 20, ayat 1, 2, 3,
4
Pasal 15
Pendidikan diniyah formal
menyelenggarakan pendidikan ilmu-ilmu yang bersumber dari ajaran agama Islam
pada jenjang pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah,
dan pendidikan tinggi.
Pasal 16
(1)
Pendidikan diniyah dasar menyelenggarakan pendidikan dasar sederajat MI/SD
yang terdiri atas 6 (enam) tingkat dan pendidikan diniyah menengah pertama
sederajat MTs/SMP yang terdiri atas 3 (tiga) tingkat.
(2)
Pendidikan diniyah menengah menyelenggarakan pendidikan diniyah menengah
atas sederajat MA/SMA yang terdiri atas 3 (tiga) tingkat.
(3)
Penamaan satuan pendidikan diniyah dasar dan menengah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) merupakan hak penyelenggara pendidikan yang
bersangkutan.
Pasal 17
(1)
Untuk dapat diterima sebagai peserta didik
pendidikan diniyah dasar, seseorang harus berusia sekurang-kurangnya 7 (tujuh)
tahun.
(2)
Dalam hal daya tampung satuan pendidikan masih
tersedia maka seseorang yang berusia 6 (enam) tahun dapat diterima sebagai
peserta didik pendidikan diniyah dasar.
(3)
Untuk dapat diterima sebagai peserta didik
pendidikan diniyah menengah pertama, seseorang harus berijazah pendidikan
diniyah dasar atau yang sederajat.
(4)
Untuk dapat diterima sebagai peserta didik
pendidikan diniyah menengah atas, seseorang harus berijazah pendidikan diniyah
menengah pertama atau yang sederajat.
Pasal 18
(1)
Kurikulum pendidikan diniyah dasar formal wajib
memasukkan muatan pendidikan kewarganegaraan, bahasa Indonesia, matematika, dan
ilmu pengetahuan alam dalam rangka pelaksanaan program wajib belajar.
(2)
Kurikulum pendidikan diniyah menengah formal
wajib memasukkan muatan pendidikan kewarganegaraan, bahasa Indonesia,
matematika, ilmu pengetahuan alam, serta seni dan budaya.
Pasal 19
(1)
Ujian nasional pendidikan diniyah dasar dan
menengah diselenggarakan untuk menentukan standar pencapaian kompetensi peserta
didik atas ilmu-ilmu yang bersumber dari ajaran Islam.
(2)
Ketentuan lebih lanjut tentang ujian nasional
pendidikan diniyah dan standar kompetensi ilmu-ilmu yang bersumber dari ajaran
Islam sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dengan peraturan Menteri
Agama dengan berpedoman kepada Standar Nasional Pendidikan.
Pasal 20
(1) Pendidikan diniyah pada jenjang pendidikan tinggi dapat menyelenggarakan
program akademik, vokasi, dan profesi berbentuk universitas, institut, atau
sekolah tinggi.
(2) Kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan untuk setiap program studi
pada perguruan tinggi keagamaan Islam selain menekankan pembelajaran ilmu
agama, wajib memasukkan pendidikan kewarganegaraan dan bahasa Indonesia.
(3) Mata kuliah dalam kurikulum program studi memiliki beban belajar yang
dinyatakan dalam satuan kredit semester (sks).
(4) Pendidikan diniyah jenjang pendidikan tinggi diselenggarakan sesuai dengan
Standar Nasional Pendidikan.
Walaupun
demikian pendidikan agama Islam masih dianggap sebagai pendidikan alternatif,
merupakan pilihan kedua setelah pendidikan umum/ sekuler. Hal ini karena masih
banyak masyarakat yang memandang pendidikan agama Islam dengan sebelah mata,
salah satunya adalah prospek ke depan, apa dan mau kemana lulusan institusi
pendidikan Islam? Mampukah lulusan ini mengejar lulusan sekolah umum/
sekuler yang telah menguasai saint dan teknologi?
Bila kita
telaah sesungguhnya perkembangan pendidikan agama Islam, cukup mengalami
kemajuan (walaupun tidak dikatakan lambat), dengan dibuktikan telah banyak
putra bangsa yang mendapatkan gelar doktor dan profesor, dan institusi
perguruan tinggi Islam telah mengintegrasikan diri dengan umum, seperti adanya
6 IAIN yang telah berubah menjadi UIN. Sehingga diharapkan para lulusan UIN
akan menjadi ilmuwan-ilmuwan yang dapat diandalkan dengan dibarengi dasar
keimanan dan ketakwaan kepada Allah swt. Yang dalam hidup dan
kehidupannya nilai-nilai Islam dapat diaplikasikan dan apresiasikan dalam
masyarakat dan menjadi tauladan bagi umat manusia.[12]
D.
PENUTUP
Pendidikan
sangat penting bagi kehidupan. Pendidikan merubah budaya dan peradaban umat manusia.
Pembicaraan seputar Islam dan pendidikan tetap menarik dan tak ada
habis-habisnya selagi sejarah umat manusia masih ada. Pendidikan Islam sering
manjadi perbincangan dalam skala besar maupun kecil, dimeja makan maupun di
seminar-seminar, tetap tidak membuat jenuh yang mendiskusikannya, karena
senantiasa berkembang dan akan selalu eksis, terutama terkait dengan
upaya membangun sumber daya manusia muslim.
Pendidikan
Islam sebagai sub dari pendidikan Nasional yang mencita-citakan terwujudnya
insan kamil atau orang Islam yang saleh ritual dan saleh sosial, secara
implisit akan mencerminkan ciri kualitas manusia indonesia seutuhnya
sebagaimana yang digambarkan dalam tujuan pendidikan Nasional.
Pemerintah
telah banyak memberikan fasilitas, walaupun dari sisi lain masih kurang
mengena. Namun telah kita rasakan dari berbagai kebijakan-kebijakan yang ada,
baik itu berupa SKB maupun UU tentang pendidikan agama dan keagamaan. Inilah
kesempatan bagi umat beragama lebih khusus lagi umat Islam untuk memanfaatkan
dan mengaplikasikan kebijakan-kebijakan yang telah disediakan.
DAFTAR
PUSTAKA
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam; Upaya
Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam Di Sekolah, Bandung, Rosda, 2001
__________, Rekonstruksi Pendidikan Islam,
Jakarta: Rajawali Press, 2009
Shaleh , Abdul Rachman, pendidikan Agama Dan
Keagamaan; Visi, Missi Dan Aksi, Jakarta, GEmawindu, 2000
Sudjarwo dan Basrowi, Pranata Dan System Pendidikan,Kediri,
Jenggala Pustaka Utama, 2008
Tilaar,H.A.R. dan Riant Nugroho, Kebijakan
Pendidikan; Pengantar Untuk Memahami Kebijakan Pendidikan Dan Kebijakan
Sebagai Kebijakan Public,Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2008
[1] Muhaimin, Paradigma
Pendidikan Islam; upaya mengefektifkan pendidikan agama Islam di sekolah,
(Bandung, Rosda, 2001), hal. 36
[3] Abdul Rachman Shaleh, Pendidikan Agama dan Keagamaan;
visi, misi dan aksi, (Jakarta, Gemawindu, 2000), hal. 2
[4] Sudjarwo dan
Basrowi, Pranata dan System Pendidikan, (Kediri, Jenggala Pustaka Utama,
2008), hal. 86
[5] Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam; upaya
mengefektifkan pendidikan agama Islam di sekolah, (Bandung, Rosda,
2001), hal. 78
[7] H.A.R.
Tilaar dan Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan; pengantar untuk memahami
kebijakan pendidikan dan kebijakan sebagai kebijakan public, (Yogyakarta,
Pustaka Pelajar, 2008), hal. 137
[8] Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam; upaya
mengefektifkan pendidikan agama Islam di sekolah, (Bandung, Rosda,
2001), hal. 183
[9]
Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan
Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2009), hal. 255
[12]
http://jasafadilahginting.blogspot.com/2011/10/kebijakan-pendidikan-agama-islam-di.html Akses : Minggu 03 03 2013
0 komentar:
Posting Komentar