MATERI PPL
FIQIH XI IPS MA. HASANUDDIN SIRAMAN
TENTANG HUDUUD
ZINA DAN QODHAF
Kamis, 31
Oktober 2013
Oleh Wahid
Hambali
Hudud adalah bentuk jama’ dari kata had yang
artinya sesuatu yang membatasi dua benda. Menurut bahasa, kata had adalah al-man’u (Cegahan)
Menurut syar’i, Hudud adalah hukuman-hukuman kejahatan yang telah ditetapkan
oleh syara untuk mencegah dari terjerumusnya seseorang kepada kejahatan yang
sama.
Hudud adalah hukuman-hukuman tertentu yang wajib dikenakan pada orang yang
melanggar larangan-larangan tertentu dalam agama. Seperti zina, menuduh zina,
Qadzaf dan lain sebagainya.
Zina (ejaan tidak baku: zinah; bahasa Arab: الزنا,
bahasa Ibrani: ניאוף
-zanah) adalah perbuatan bersanggama antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat oleh
hubungan pernikahan (perkawinan). Secara umum,
zina bukan hanya di saat manusia telah melakukan hubungan seksual, tapi segala
aktivitas-aktivitas seksual yang dapat merusak kehormatan manusia termasuk
dikategorikan zina.
Zina
adalah hubungan kelamin antara laki-laki dengan perempuan tanpa adanya ikatan
perkawinan yang sah dan dilakukan dengan sadar serta tanpa adanya unsur subhat.
Di dalam Ensiklopedi hukum islam ,
zina di definisikan secara berbeda oleh beberapa kalangan fuqaha;
Menurut ulama malikiyah
mendefinisikan bahwa zina adalah perbuatan mukallaf yang menyetubuhi farji anak
adam yang bukan miliknya secara sepakat (tanpa ada Syubhat) dan di sengaja.
Ulama Hanafiyah mendefinisikan bahwa
zina adalah perbuatan lelaki yang menyetubuhi perempuan di dalam kubul tanpa
ada milik dan menyerupai milik.
Ulama syafi’iyah mendefinisikan
bahwa zina adalah memasukan zakar kedalam farji yangharam tanpa ada syubhat dan
secara naluri mengundang syahwat.
Ulama Hanabilah mendefinisikan bahwa
zina adalah perbuatan keji pada kubul atau dubur.
Konsep tentang tindak pidana
Perzinaan menurut hukum islam jauh berbeda dengan sistem hukum Barat, karena
dalam hukum islam, setiap hubungan seksual yang di haramkan itulah zina, baik
yang di lakukan oleh orang yang telah berkeluarga maupun yang belum berkeluarga
asal ia tergolong orang mukallaf, meskipun di lakukan dengan rela sama rela,
jadi tetap merupakan tindak pidana.
Sementara konsep
perzinahan dalam sistem hukum Barat adalah ketika salah seorang ataupun
kedua-duanya sedang berada dalam tali perikatan perkawinan, hal tersebut juga
bisa di kategorikan tindak pidana ketika ada pihak dari salah satu pasangan
yang melaporkan pada hakim, jika tidak maka di kategorikan bukan tindak Pidana.
Di dalam konsep pidana islam, hukuman bagi seorang pezina ada dua macam, jika yang berzina merupakan seseorang yang belum menikah (ghaira muhshan) maka hukumannya adalah dengan di dera 100 kali, sementara jika sudah menikah (muhshan) maka hukumannya adalah di razam.
Di dalam konsep pidana islam, hukuman bagi seorang pezina ada dua macam, jika yang berzina merupakan seseorang yang belum menikah (ghaira muhshan) maka hukumannya adalah dengan di dera 100 kali, sementara jika sudah menikah (muhshan) maka hukumannya adalah di razam.
Delik perzinaan
ditegaskan dalam al-Qur’an dan sunnah. Hukuman bagi pelaku zina yang belum
menikah (ghairu muhsan) didasarkan pada ayat al-Qur’an, yakni didera
seratus kali. Sementara bagi pezina muhsan dikenakan sanksi rajam.
Rajam dari segi bahasa berarti melempari batu. rajam adalah melempari pezina
muhsan sampai menemui ajalnya. Adapun dasar hukum dera atau cambuk
seratus kali adalah firman Allah dalam surat an-Nur ayat 2: Sedangkan menurut istilah,
اَلزَّانِيَةُ
وَالزَّانِى فَاجْلِدُوْا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ وَلاَ
تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِيْنِ اللهِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ
بِاللهِ وَالْيَوْمِ الأَخِرِ وَلْيَشْــهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ
الْمُؤْمِنِيْنَ
Pezina perempuan dan
laki-laki hendaklah dicambuk seratus kali dan janganlah merasa belas kasihan
kepada keduanya sehingga mencegah kamu dalam menjalankan hukum Allah, hal
ini jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhir. Dan hendaklah dalam
menjatuhkan sanksi (mencambuk) mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang
yang beriman.
Zina
adalah perbuatan yang sangat tercela dan pelakunya dikenakan sanksi yang amat
berat, baik itu hukum dera maupun rajam, karena alasan yang dapat
dipertanggungjawabkan secara moral dan akal. Kenapa zina diancam dengan hukuman
berat. Hal ini disebabkan karena perbuatan zina sangat dicela oleh Islam dan
pelakunya dihukum dengan hukuman rajam (dilempari batu sampai meninggal
dengan disaksikan orang banyak), jika ia muhsan. Jika ia ghairu muhsan,
maka dihukum cambuk 100 kali. Adanya perbedaan hukuman tersebut karena muhsan
seharusnya bisa lebih menjaga diri untuk melakukan perbuatan tercela itu,
apalagi kalau masih dalam ikatan perkawinan yang berarti menyakiti dan
mencemarkan nama baik keluarganya, sementara ghairu muhsan belum pernah
menikah sehingga nafsu syahwatnya lebih besar karena didorong rasa
keingintahuannya. Namun keduanya tetap sangat dicela oleh Islam dan tidak boleh
diberi belas kasihan, sebagaimana firman Allah:
وَلاَ تَأْخُذْ كُمْ
بِهِمَا رَأْفَةٌ فِى دِيْنِ اللهِ
Ancaman
keras bagi pelaku zina tersebut karena dalam pandangan Islam zina, merupakan
perbuatan tercela yang menurunkan derajat dan harkat kemanusiaan secara umum.
Apabila zina tidak diharamkan niscaya martabat manusia akan hilang karena tata
aturan perkawinan dalam masyarakat akan rusak. Di samping itu pelaku zina
berarti mengingkari nikmat Allah tentang kebolehan dan anjuran Allah untuk
menikah.
Di dalam Ensiklopedi hukum islam ,
zina di definisikan secara berbeda oleh beberapa kalangan fuqaha;
Menurut ulama malikiyah
mendefinisikan bahwa zina adalah perbuatan mukallaf yang menyetubuhi farji anak
adam yang bukan miliknya secara sepakat (tanpa ada Syubhat) dan di sengaja.
Ulama Hanafiyah mendefinisikan bahwa
zina adalah perbuatan lelaki yang menyetubuhi perempuan di dalam kubul tanpa
ada milik dan menyerupai milik.
Ulama syafi’iyah mendefinisikan
bahwa zina adalah memasukan zakar kedalam farji yangharam tanpa ada syubhat dan
secara naluri mengundang syahwat.
Ulama Hanabilah mendefinisikan bahwa
zina adalah perbuatan keji pada kubul atau dubur.
Konsep tentang tindak pidana
Perzinaan menurut hukum islam jauh berbeda dengan sistem hukum Barat, karena
dalam hukum islam, setiap hubungan seksual yang di haramkan itulah zina, baik
yang di lakukan oleh orang yang telah berkeluarga maupun yang belum berkeluarga
asal ia tergolong orang mukallaf, meskipun di lakukan dengan rela sama rela,
jadi tetap merupakan tindak pidana.
Sementara konsep
perzinahan dalam sistem hukum Barat adalah ketika salah seorang ataupun
kedua-duanya sedang berada dalam tali perikatan perkawinan, hal tersebut juga
bisa di kategorikan tindak pidana ketika ada pihak dari salah satu pasangan
yang melaporkan pada hakim, jika tidak maka di kategorikan bukan tindak Pidana.
Di dalam konsep pidana islam, hukuman bagi seorang pezina
ada dua macam, jika yang berzina merupakan seseorang yang belum menikah (ghaira
muhshan) maka hukumannya adalah dengan di dera 100 kali, sementara jika sudah
menikah (muhshan) maka hukumannya adalah di razam. Dasar dari penetapan hukum
dera adalah Q.S An-Nur ayat 2, yakni: “ Perempuan yang berzina dan laki-laki
yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera,
dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan)
agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah
(pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang
beriman”. Sementara
dasar dari penetapan hukum rajam adalah Hadits Nabi; Dari ‘Ubadah bin Shamit r.a, katanya Rasulullah Saw.
Bersabda:” Laksanakanlah hukumanku! Laksanakanlah Hukumanku! Sesungguhnya Allah
telah menetapkan hukum bagi mereka yang berzina.Apabila bujang dan gadis
(sama-sama belum kawin) hukumannya dera 100 kali dan penjara satu tahun.
Apabila janda dan duda (sama-sama sudah kawin) yang berzina, hukumannya dera
100 kali dan razam sampai mati.” (HR. Muslim)
Secara Bahasa, Rajam adalah melempari batu . Sementari dalam
istilah Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah menghukum dengan dengan lemparan
batu (bagi orang-orang berzina). Hal tersebut senada dengan pendapat Said Hawa
bahwa Rajam adalah di bunuh dengan di lempari batu .
Perdebatan Kalangan Ulama Terkait
Masalah Hukum Rajam Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai
eksistensi penetapan hukum rajam, jumhur ulama berpendapat bahwa hukum rajam
merupakan suatu keharusan sementara golongan lain mengklaim bahwa hukum razam
bukanlah hukuman yang tepat melainkan dera sebanyak 100 kali. Perbedaan tersebut terjadi akibat
berbedanya pemahaman mengenai Q.S An-Nur: 2. Menurut Ali as-Sayis, sebagaimana di kutip oleh Makhrus
Munajat, bahwa alasan yang menolak hukum rajam adalah:
1. Hukum
rajam di anggap paling berat di antara hukum yang ada dalam islam namun tidak
ditetapkan dalam al-Qur’an. Seandainya Allah melegalkan hukum Rajam mestinya di
tetapkan secara definitif dalam nas.
2. Hukuman
bagi hamba sahaya separoh dari orang merdeka, kalau hukum rajam di anggap
sebagai hukuman mati apa ada hukuman separoh mati. Demikian juga ketentuan
hukuman bagi keluarga nabidengan Sanksi dua kali lipat apakah ada dua kali
hukuman mati. Secara jelas ayat yang menolak adalah surat an-Nisa ayat 25: jika para budak yang telah
terpelihara melakukan perbuatan keji (zina), maka hukumannya adalah separo dari
wanita merdeka…..Ayat di atas menunjukan bahwa hukum rajam tidak dapat di bagi
dua, maka hukum yang logis diterapkan adalah hukum dera 100 kali. Jika
pelakunya budak, maka berdasarkan ketentuan surat an-Nisa ayat 25 adalah
separoh, yakni lima puluh kali. Demikian halnya dengan ketentuan surat al-Ahzab
ayat 30.
“Hai isteri-isteri nabi, siapa-siapa di antaramu yang
mengerjakan perbuatan keji yang nyata, niscaya akan di lipat gandakan siksaan
kepada mereka dua kali lipat…”
Ayat di atas menggambarkan bahwa hukum rajam tidak dapat dilipatgandakan, yakni duakali lipat. Jika diberlakukan hukum dera 100 kali maka dua kali lipatnya adalah 200 kali.
3. Hukum dera yang terdapat dalam surat An-Nur ayat 2 berlaku umum, yakni pezina muhshan dan ghaira muhsan. Sementara hadits nabi yang menyatakan berlakunya hukum rajam adalah lemah.
Sedang Argumentasi fuqaha jumhur yang sepakat diterapkannya hukuman rajam adalah sebagai berikut;
1. Sesungguhnya hukum syara’ itu diberlakukan sesuai dengan kepentingan dan maslahat terhadap persoalan yang baru timbul. Demikian pula kemaslahatan penerapan hukuman rajam diperlukan dan terjadi setelah turunnya surat an-Nur: 2, cukuplah sunah menetapkan hukuman rajam sebagai penjelas dan penyempurna, yang berfungsi pula sebagai tafsil terhadap ayat-ayat al-Qur’an.
2. Sebenarnya yang di maksud dengan “muhsanat” dalam redaksi ayat;
…jika para budak yang telah terpelihara melakukan perbuatan keji (zina), maka hukumannya adalah separo dari wanita merdeka…..Adalah wanita-wanita merdeka, sedangkan wanita-wanita yang merdeka itu ada dua macam, yaitu yang telah kawin dan gadis. Dan sanksi bagi keduanya bila berzina juga berbeda yaitu razam dan jilid 100 kali. Hukuman rajamntidak dikenakan atas hamba wanita, tapi khusus bagi wanita-wanita yang berbeda sesuai dengan sifat hukuman rajam itu, sendiri yang tidak bisa di bagi dua, hal ini sesuai pula dengan pemikiran akal sehat.
Ayat di atas menggambarkan bahwa hukum rajam tidak dapat dilipatgandakan, yakni duakali lipat. Jika diberlakukan hukum dera 100 kali maka dua kali lipatnya adalah 200 kali.
3. Hukum dera yang terdapat dalam surat An-Nur ayat 2 berlaku umum, yakni pezina muhshan dan ghaira muhsan. Sementara hadits nabi yang menyatakan berlakunya hukum rajam adalah lemah.
Sedang Argumentasi fuqaha jumhur yang sepakat diterapkannya hukuman rajam adalah sebagai berikut;
1. Sesungguhnya hukum syara’ itu diberlakukan sesuai dengan kepentingan dan maslahat terhadap persoalan yang baru timbul. Demikian pula kemaslahatan penerapan hukuman rajam diperlukan dan terjadi setelah turunnya surat an-Nur: 2, cukuplah sunah menetapkan hukuman rajam sebagai penjelas dan penyempurna, yang berfungsi pula sebagai tafsil terhadap ayat-ayat al-Qur’an.
2. Sebenarnya yang di maksud dengan “muhsanat” dalam redaksi ayat;
…jika para budak yang telah terpelihara melakukan perbuatan keji (zina), maka hukumannya adalah separo dari wanita merdeka…..Adalah wanita-wanita merdeka, sedangkan wanita-wanita yang merdeka itu ada dua macam, yaitu yang telah kawin dan gadis. Dan sanksi bagi keduanya bila berzina juga berbeda yaitu razam dan jilid 100 kali. Hukuman rajamntidak dikenakan atas hamba wanita, tapi khusus bagi wanita-wanita yang berbeda sesuai dengan sifat hukuman rajam itu, sendiri yang tidak bisa di bagi dua, hal ini sesuai pula dengan pemikiran akal sehat.
Mentakhsis keumuman ayat al-Qur’an dengan khabar ahad itu
diperbolehkan, karena lafaz-lafaz yang umum di dalam ayat itu meskipun qat’I
dari segi matannya, tetapi zanni dari segi penunjukan dalilnya. Hal ini memungkinkan untukmentakhsis
keumuman ayat al-Qur’an dengan dalil zanni.
Prof. Hamka berpendapat bahwa meskipun rajam itu tidak
disebutkan dalam al-Qur’an, tetapi hal itu telah dilakukan oleh Rasul dan telah
dijadikan sandaran hukum oleh perawi-perawi terpercaya, seperti Abu Bakar,
Umar,Ali, Abu Sa’id al-Khudari, Abu Hurairah, Jahir bin Abdullah, Zayid bin
Khalid dan Buraidah al-Aslami, semuanya sahabat-sahabat besar dan ternama.
Hukum
Rajam dan Persoalan Kemanusiaan Dewasa
ini, konsep Perlindungan Hak Asasi Manusia sangat di gembor-gemborkan di setiap
negara, termasuk negara islam maupun negara yang mayoritas beraama islam,
sehingga konsep kemanusiaan tersebut menjadi tolak ukur dalam setiap pembentukan
undang-undang.
Banyak yang beranggapan bahwa Konsep hukuman dalam pidana
islam tidaklah sesuai dengan konsep kemanusiaan, hal itu dikarenakan sanksi
yang terkandung dalam pidana islam tersebut terlihat sangat kejam dan tidak
manusiawi, misalnya hukuman qisas sebagai bentuk pembalasan, hukuman potong
tangan bagi pencuri, razam atau jilid bagi pezina dan sebagainya.
Anggapan bahwa hukuman dalam islam itu sangat kejam, menurut M. Hasbi Ash-Shidiqi, di pandang wajar karena mereka di rasa kurang mampu atau gagal untuk menagkap ruh syari’at islam. Sebetulnya hukum-hukum seperti yang di contohkan tadi terbentuk bukan semata-mata karena alasan balas dendam, melainkan hal tersebut memberikan ukuran konkrit tentang nilai keadilan yang harus ditegakan. Dengan kata lain hukuman yang dijatuhkan tidak melebihi kesalahan atas dosa yang telah diperbuat.
Anggapan bahwa hukuman dalam islam itu sangat kejam, menurut M. Hasbi Ash-Shidiqi, di pandang wajar karena mereka di rasa kurang mampu atau gagal untuk menagkap ruh syari’at islam. Sebetulnya hukum-hukum seperti yang di contohkan tadi terbentuk bukan semata-mata karena alasan balas dendam, melainkan hal tersebut memberikan ukuran konkrit tentang nilai keadilan yang harus ditegakan. Dengan kata lain hukuman yang dijatuhkan tidak melebihi kesalahan atas dosa yang telah diperbuat.
Muhammad Iqbal Siddiqi melihat bahwa keritik-keritik
berat yang di lancarkan terhadap hukuman perzinahan bukan semata karena mereka
tidak suka terhadap ide hukuman fisik, tetapi lebih karena perasaan moral
(moral sense) mereka yang belum terbangun seutuhnya. Karena mereka memandang perzinahan
(fornication) sebagai sesuatu yang indecent; mereka melihat sebagai sesuatu
yang menyenangkan, sebagai sesuatu yang biasa yang menyenangkan kedua pelakunya
sesaat saja. Oleh karena itu mereka ingin agar mentoleransi perbuatan tersebut,
dan tidak memandangnya sebagai perbuatan yang serius, kecuali jika dilakukan
dengan paksaan. Konsekuensi dari pandangan di atas
adalah pandangan bahwa hukuman bagi pelakunya yang direncanakan oleh hukum
Pidana islam sangat kejam. Namun, kata Siddiqi, jika perasaan moral dan sosial
terbangun, mereka akan menyadari bahwa perzinaan baik itu dilakukan dengan
paksaan atau sukarela, baik oleh orang yang terkait perkawinan atau tidak,
merupakan suatu kejahatan sosial yang akan mempengaruhi masyarakat secara
keseluruhannya.
Hukuman rajam memang terlihat sangat kejam sekali, karena dari hukuman tersebut bisa mengakibatkan kematian, bahkan cara pelaksanaan hukum tersebut terlihat sangat tidak manusiawi karena dilakukan dengan cara dilempari batu dan si pelakunya, menurut sebagian pendapat, di kubur setengah badan. Akan tetapi, jika hukum rajam diberlakukan maka akan timbul rasa ketakutan di kalangan masyarakat untuk tidak melakukan perbuatan zina, mengingat begitu sakitnya akibat hukuman tersebut. Oleh sebab itu, peaksanaan hukum rajam harus dimaknai sebagai sanksi yang bersifat prefentive dan edukatif, guna menciptakan suatu rasa ketakutan di kalangan masyarakat untuk tidak melakukan perbuatan zina.
Hukuman rajam memang terlihat sangat kejam sekali, karena dari hukuman tersebut bisa mengakibatkan kematian, bahkan cara pelaksanaan hukum tersebut terlihat sangat tidak manusiawi karena dilakukan dengan cara dilempari batu dan si pelakunya, menurut sebagian pendapat, di kubur setengah badan. Akan tetapi, jika hukum rajam diberlakukan maka akan timbul rasa ketakutan di kalangan masyarakat untuk tidak melakukan perbuatan zina, mengingat begitu sakitnya akibat hukuman tersebut. Oleh sebab itu, peaksanaan hukum rajam harus dimaknai sebagai sanksi yang bersifat prefentive dan edukatif, guna menciptakan suatu rasa ketakutan di kalangan masyarakat untuk tidak melakukan perbuatan zina.
Dasar hukum
dilarangnya zina
wur (#qç/tø)s? #oTÌh9$# ( ¼çm¯RÎ) tb%x. Zpt±Ås»sù uä!$yur WxÎ6y ÇÌËÈ .
32. dan
janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan
yang keji. dan suatu jalan yang buruk.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan
oleh nasa’i yang artinya :
“Dari Abu Hurairah, bahwasannya Rasulullah SAW bersabda” ada empat hal yang
menyebabkan kemurkaan Allah kepada mereka (Umatnya). Yaitu pembual yang suka
bersumpah, orang fakir yang sombong, orang lanjut usia yang ber Zina dan
pemimpin yang durhaka (HR. Nasa’i)
3.
Dasar Penetapan Adanya Pebuatan Zina
Ada dua cara yang dijadikan dasar
untuk menetapkan bahwa menurut syara seseorang telah berbuat Zina, Yaitu ;
a)
Empat orang saksi dengan syarat : semuanya laki-laki adil, memberikan kesaksian
yang sama tentang tempat, waktu dan cara melakukannya
b)
Pengakuan dari pelaku, dengan syarat sudah baligh dan berakal. Jika orang yang
mengaku telah berbuat zina itu belum baligh atau sudah baligh tapi akalnya
terganggu atau gila, maka tidak bisa ditetapkan had zina padanya
4.
Macam-macam zina
a.
Zina muhshan
Zina muhshan yaituzina yang dilakukan oleh dua orang yang sudah pernah menikah.
Artinya yang dilakukan oleh seami atau istri, duda maupun janda.
b.
Zina ghair muhshan
Zina ghair muhshan yaitu zina yang dilakukan oleh orang yang belum pernah
menikah.
5.
Macam-macam hukuman bagi pezina
a) Had
pagi pelaku zina muhshan yaitu dirajam atau dilempari dengan batu sampai mati.
Hukum rajam ini juga didasarkan kepada khabar darai Umar bin Khattab
b) Had
bagi pelaku Zina Ghair Muhshan yaitu dijilid (dicambuk) sebanyak 100 kali dan
dibuang kedaerah lain (Diasingkan) selama satu tahun.
Firman Allah SWT :
Artinya : Perempuan yang berzina dan
laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus
kali dera.
Dera artinya memukul dengan rotan kecil atau cambuk yang dupukulkan/dicambukkan
keadaan dengan ketentuan tidak menghancurkan tetapi menyakitkan.
Adapun Had Zina bagi hamba sahaya adalah separuh dari had yang merdeka, yaitu
dijilid 50 kali dan diasingkan keluar daerah selama setengah tahun.
Firman Allah SWT :
!#sÎ*sù £`ÅÁômé& ÷bÎ*sù ú÷üs?r& 7pt±Ås»xÿÎ/ £`Íkön=yèsù ß#óÁÏR $tB n?tã ÏM»oY|ÁósßJø9$# ÆÏB É>#xyèø9$#
dan apabila mereka
telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji
(zina), Maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang
bersuami.
Apabila terjadi perzinaan antara seorang ghair Muhshan dengan seorang muhshan,
maka berdasarkan acuan diatas, terhadap yang muhshan harus dilakukan hukum
rajam, sedangkan bagi yang ghair muhshan cukup didera saja.
6.
Hikmah diharamkannya zina
a)
Menjaga kesucian dan harga diri atau martabat manusia, baik dihadapan manusia
maupun Allah SWT
b)
Menjaga nasab (Keturunan) Dari pencampur adukan yang diharamkan oleh agama
c)
Terpelihara dari penyakit-penyakit kotor yang diakibatkan kebebasan seksual
d) Dengan
dilaksanakannya hukuman bagi pelaku zina secara terbuka dan demonstratif dapat
menanamkan rasa takut bagi orang yang bermaksud berbuat zina
e)
Memelihara ketertiban dan ketentraman rumah tangga
Berikut
ini adalah beberapa akibat buruk dan bahaya zina:
- Dalam zina terkumpul bermacam-macam dosa dan keburukan, yakni berkurangnya agama si pezina, hilangnya sikap menjaga diri dari dosa, kepribadian buruk, dan hilangnya rasa cemburu.
- Zina membunuh rasa malu, padahal dalam Islam malu merupakan suatu hal yang sangat diperdulikan dan perhiasan yang sangat indah dimiliki perempuan.
- Menjadikan wajah pelakunya muram dan gelap.
- Membuat hati menjadi gelap dan mematikan sinarnya.
- Menjadikan pelakunya selalu dalam kemiskinan atau merasa demikian sehingga tidak pernah merasa cukup dengan apa yang diterimanya.
- Akan menghilangkan kehormatan pelakunya dan jatuh martabatnya baik di hadapan Allah maupun sesama manusia.
- Tumbuhnya sifat liar di hati pezina, sehingga pandangan matanya liar dan tidak terarah.
- Pezina akan dipandang oleh manusia dengan pandangan muak dan tidak dipercaya.
- Zina mengeluarkan bau busuk yang mampu dideteksi oleh orang-orang yang memiliki hati yang bersih melalui mulut atau badannya.
- Kesempitan hati dan dada selalu dirasakan para pezina. Apa yang dia dapatkan dalam kehidupan adalah kebalikan dari apa yang diinginkannya. Dikarenakan orang yang mencari kenikmatan hidup dengan cara yang melanggar perintah Allah, maka Allah akan memberikan yang sebaliknya dari apa yang dia inginkan, dan Allah tidak menjadikan larangannya sebagai jalan untuk mendapatkan kebaikan dan kebahagiaan.
- Pezina telah mengharamkan dirinya untuk mendapat bidadari di dunia maupun di akhirat.
- Perzinaan menjadikan terputusnya hubungan persaudaraan, durhaka kepada orang tua, pekerjaan haram, berbuat zalim, serta menyia-nyiakan keluarga dan keturunan. Bahkan dapat terciptanya pertumpahan darah dan sihir serta dosa-dosa besar yang lain. Zina biasanya berkait dengan dosa dan maksiat yang lain, sehingga pelakunya akan melakukan dosa-dosa yang lainnya.
- Zina menghilangkan harga diri pelakunya dan merusak masa depannya, sehingga membebani kehinaan yang berkepanjangan kepada pezina dan kepada seluruh keluarganya.
- Kehinaan yang melekat kepada pelaku zina lebih membekas dan mendalam daripada kekafiran. Kafir yang memeluk Islam, maka selesai persoalannya, namun dosa zina akan benar-benar membekas dalam jiwa. Walaupun pelaku zina telah bertaubat dan membersihkan diri, pezina masih merasa berbeda dengan orang yang tidak pernah melakukannya.
- Jika wanita hamil dari hasil perzinaan, maka untuk menutupi aibnya ia mengugurkan kandungannya. Selain telah berzina, pezina juga telah membunuh jiwa yang tidak berdosa. Jika pezina adalah seorang perempuan yang telah bersuami dan melakukan perselingkuhan sehingga hamil dan membiarkan anak itu lahir, maka pezina telah memasukkan orang asing dalam keluarganya dan keluarga suaminya sehingga anak itu mendapat hak warisan mereka tanpa disadari siapa dia sebenarnya.
- Perzinaan akan melahirkan generasi yang tidak memiliki silsilah kekeluargaan menurut hubungan darah (nasab). Di mata masyarakat mereka tidak memiliki status sosial yang jelas.
- Pezina laki-laki bermakna bahwa telah menodai kesucian dan kehormatan wanita.
- Zina dapat menimbulkan permusuhan dan menyalakan api dendam pada keluarga wanita dengan lelaki yang telah berzina dengan wanita dari keluarga tersebut.
- Perzinaan sangat mempengaruhi jiwa keluarga pezina, mereka akan merasa jatuh martabat di mata masyarakat, sehingga mereka tidak berani untuk mengangkat wajah di hadapan orang lain.
- Perzinaan menyebabkan menularnya penyakit-penyakit berbahaya seperti AIDS, sifilis, kencing nanah, dan penyakit-penyakit lainnya yang ditularkan melalui hubungan seksual.
QADZAF
A. PENGERTIAN
Qadzaf menurut bahasa yaitu ram’yu syain berarti melempar sesuatu. Sedangkan menurut istilah syara’ adalah melempar tuduhan (wath’i) zina kepada orang lain yang karenanya mewajibkan hukuman had bagi tertuduh (makdzuf).
Qadzaf menurut bahasa yaitu ram’yu syain berarti melempar sesuatu. Sedangkan menurut istilah syara’ adalah melempar tuduhan (wath’i) zina kepada orang lain yang karenanya mewajibkan hukuman had bagi tertuduh (makdzuf).
1. Qadzif
Mengenai qadzif (orang yang menuduh orang lain berzina), fuqaha sepakat bahwa ada dua syarat yang harus dipenuhi yaitu dewasa dan berakal atau mukallaf.
2. Maqdzuf
Maqdzuf (orang yang dituduh berzina), fuqahqa spakat ada lima syarat bagi madzuf, yaitu dewasa, merdeka, kerhormatan dirinya terjaga (al-‘afaf) atau tidak berbuat zina , islam, dan ia mempunyai alat untuk berzina. Hukumannya adalah delapan puluh kali dera, jika pelakunya orang merdeka, dan jia budak, maka hukumannya adalah empat puluh deraan.
3. Qadzaf
Qodzaf berarti tuduhan, suduhan yang dilakukan orang lain kepada lainnya telah melakukan sebuah perzinaan dan qodzaf sendiri dapat terkena hadd atau hukuman.
Mengenai qadzaf yang mengakibatkan hukuman hudud, qadzaf atau tuduhan dapat dinyatakan melalui ucapan “engkau tela berzina”, atau “hai pezina”atau “si fulan telah menzinamu” atau “hai pelacur”.seandainya seseorang mengatakan kepada anaknya sendiri atau kepada anak orang lain ,”hai anak zina”, maka kalimat itu secara tidak langsung tuduhan kepada ibu si anak tersebut .
Fuqaha sepakat bahwa qadzaf apabila diucapkan dengan kata-kata yang jelas, maka qadzif harus dikenai hukuman had, tetapi jika diucapkan dengan kata sindiran “hai orang-orang yang suka homo seks”, maka fuqaha masih beda pendapat.Syafi’i, Abu hanifah, Ats- Tsauri, dan Ibnu Abi Laila berpendapat bahwa tuduhan dengan kata-kata sindiran tidak terkena hukuman hadd, hanya saja Abu Hanifah dan Syafi’i memenetapkan ta’zir baginya. Malik dan para pengikutnya berpendapat justru yang mendapatkan had adalah penuduh yang menggunakan kata-kata sindiran.
Orang tua tidak dikenakan hukuman had karena menuduh anaknya sendiri berzina, melainkan hanya dikenakan hukuman ta’zir, seperti halnya tuduhan yang dilakukan orang yang bukan mukallaf.
Sejalan dengan beratnya hukuman bagi pelaku jarimah zina, hukum Islam juga mengancamkan hukuman yang tak kalah beratnya bagi seseorang yang melakukan tuduhan berzina kepada orang lain. Hukuman tersebut tidak dijatuhkan ketika tuduhannya mengandung kebohongan. Namun, apabila tuduhannya dapat dibuktikan kebenarannya, maka jarimah qadzaf itu tidak ada lagi dan di jatuhkan kepada orang yang menuduh. Artinya, bila si penuduh tak dapat membuktikan tuduhannya karena lemahnya pembuktian atau kesaksiannya, hukuman qadzaf dijatuhkan bagi si penuduh.
Suatu prinsip dalam fiqih Jinayah bahwa barang siapa menuduh orang lain dengan sesuatu yang haram, maka wajib atasnya membuktikan tuduhan itu. Apabila ia tak dapat membuktikan tuduhan itu, maka ia wajib dikenai hukuman.
B. DASAR HUKUM LARANGAN QADZAD
Dasar Jarimah Qadzaf adalah
firman Allah:
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَآءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلاَتَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُوْلَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ {4}
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَآءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلاَتَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُوْلَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ {4}
Artinya:
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.”
(QS. An-Nuur : 4)
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.”
(QS. An-Nuur : 4)
Dalam surat An-Nuur ayat 23,
Allah berfirman :
إِنَّ الَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلاَتِ الْمُؤْمِنَاتِ لُعِنُوا فِي الدُّنْيَا وَاْلأَخِرَةِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ {23}
Artinya:
Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina), mereka kena la’nat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar, (QS. An-Nuur : 23)
إِنَّ الَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلاَتِ الْمُؤْمِنَاتِ لُعِنُوا فِي الدُّنْيَا وَاْلأَخِرَةِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ {23}
Artinya:
Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina), mereka kena la’nat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar, (QS. An-Nuur : 23)
C. UNSUR-UNSUR JARIMAH QADZAF
1. Menuduh zina atau mengingkari nasab.
1. Menuduh zina atau mengingkari nasab.
Maksudnya adalah ucapan yang mengandung tuduhan
atau penolakan terhadap tuduhan keturunan, seperti mengatai seseorang telah
berbuat zina atau menempelkan predikat pezina kepada seseorang dan tidak
mengakui anak atau janin yang lahir atau masih dalam kandungan istrinya.
2. Orang Yang Dituduh Harus Orang Yang Muhsan Artinya
orang yang dituduh itu orang baik-baik bukan seseorang yang biasa berbuat zina,
kalau yang dituduh itu pezina, hal itu bukanlah tuduhan tetapi sesuai dengan
kenyataannya.
3. Adanya I’tikad jahat I’tikad jahat inilah yang
memotivasi perbuatan tersebut untuk mencelakakan orang lain yang tidak berdosa,
sehingga tercemar nama baiknya aau celaka karena hukumna dera. Mengenai qadzif
(orang yang menuduh orang lain berzina) ada syarat-syarat yang harus dipenuhi,
antara lain: berakal, dewasa, tidak dipaksa, inilah syarat-syarat yang menjadi
dasar penuntutan. Sedangkan maqdzuf (orang yang dituduh berzina) fuqaha’
sepakat bahwa diantara syaratnya adalah: islam, akal sehat, baligh, merdeka
(bukan budak), iffah (menjauhi perbuatan zina). Kelima syarat tersebut
harus terdapat pada tertuduh agar hukuman qadzaf dapat dilaksanakan terhdaap
penuduh (atas tuduhan dustanya).
D. PEMBUKTIAN QADZAF
1. Persaksian
Jarimah Qadzaf dapat dibuktikan dengan persaksian dan persyaratan persaksian dalam masalah qadzaf sama dengan persyaratan persaksian dalam kasus zina. Bagi orang yang menuduh zina itu dapat mengambil beberapa kemungkinan, yaitu:
a. Memungkiri tuduhan itu dengan mengajukan persaksian cukup satu orang laki-laki atau perempuan.
b. Membuktikan bahwa yang dituduh mengakui kebenaran tuduhan dan untuk ini cukup dua orang laki-laki atau seorang laki-laki dan dua orang perempuan.
c. Membuktikan kebenaran tuduhan secara penuh dengan mangajukan empat orang saksi
d. Bila yang dituduh itu istrinya dan ia menolak tuduhannya maka suami yang menuduh itu dapat mengajukan sumpah li’an.
1. Persaksian
Jarimah Qadzaf dapat dibuktikan dengan persaksian dan persyaratan persaksian dalam masalah qadzaf sama dengan persyaratan persaksian dalam kasus zina. Bagi orang yang menuduh zina itu dapat mengambil beberapa kemungkinan, yaitu:
a. Memungkiri tuduhan itu dengan mengajukan persaksian cukup satu orang laki-laki atau perempuan.
b. Membuktikan bahwa yang dituduh mengakui kebenaran tuduhan dan untuk ini cukup dua orang laki-laki atau seorang laki-laki dan dua orang perempuan.
c. Membuktikan kebenaran tuduhan secara penuh dengan mangajukan empat orang saksi
d. Bila yang dituduh itu istrinya dan ia menolak tuduhannya maka suami yang menuduh itu dapat mengajukan sumpah li’an.
2. Pengakuan Yakni si penuduh mengakui bahwa telah
malakukan tuduhan zina kepada seseorang. Menurut
sebagian ulama, kesaksian terhadap orang yang melakukan zina harus jelas,
seperti masuknya ember ke dalam sumur (kadukhulid dalwi ilal bi’ri). Ini
menunjukkan bahwa jarimah ini sebagai jarimah yang berat seberat derita yang
akan ditimpahkan bagi tertuduh, seandainya tuduhan itu mengandung kebenaran
yang martabat dan harga diri seserang. Pera hakim dalam hal ini dituntut untuk
ekstra hati-hati dalam menanganinya, baik terhadap penuduh maupun tertuduh.
Kesalahan berindak dalam menanganinya akan berakibat sesuatu yang tak terbayangkan.
3. Dengan Sumpah Menurut Imam Syafi’i jarimah qadzaf bisa dibuktikan dengan sumpah apabila tidak ada saksi dan pengakuan. Caranya adalah orang yang dituduh (korban) meminta kepada orang menuduh (pelaku) untuk bersumpah bahwa ia tidak melakukan penuduhan. Apabila penuduh enggan untuk bersumpah maka jarimah qadzaf bisa dibuktikan dengan keengganannya untuk sumapah tersebut. Demikian pila sebaliknya, penuduh (pelaku) bisa meminta kepada orang yang dituduh (korban) bahwa penuduh benar malakukan penuduhan. Apabila orang yang dituduh enggan melakukan sumpah maka tuduhan dianggap benar dan penuduh dibebaskan dari hukuman had qadzaf. Akan tetapi Imam Malik dan Imam Ahmad tidak membenarkan pembuktian dengan sumpah, sebagaimana yang di kemukakan oleh madzhab Syafi’i. sebagian ulama Hanafiyah pendapatnya sama dengan madzhab Syafi’i.
3. Dengan Sumpah Menurut Imam Syafi’i jarimah qadzaf bisa dibuktikan dengan sumpah apabila tidak ada saksi dan pengakuan. Caranya adalah orang yang dituduh (korban) meminta kepada orang menuduh (pelaku) untuk bersumpah bahwa ia tidak melakukan penuduhan. Apabila penuduh enggan untuk bersumpah maka jarimah qadzaf bisa dibuktikan dengan keengganannya untuk sumapah tersebut. Demikian pila sebaliknya, penuduh (pelaku) bisa meminta kepada orang yang dituduh (korban) bahwa penuduh benar malakukan penuduhan. Apabila orang yang dituduh enggan melakukan sumpah maka tuduhan dianggap benar dan penuduh dibebaskan dari hukuman had qadzaf. Akan tetapi Imam Malik dan Imam Ahmad tidak membenarkan pembuktian dengan sumpah, sebagaimana yang di kemukakan oleh madzhab Syafi’i. sebagian ulama Hanafiyah pendapatnya sama dengan madzhab Syafi’i.
Li’an dan
Akibat Buruk Perselingkuhan
Sesungguhnya ketika dua insan mengikat sebuah tali
pernikahan, maka keduanya telah berjanji agar setia kepada pasangannya di kala
senang dan sedih, lapang dan susah hingga akhir hayat. Namun terkadang setan pandai menggelincirkan seseorang
sehingga orang tersebut merusak ikatan yang telah ia jalin bersama pasangannya
dan melupakan janji setia tersebut. Kemudian mulailah muncul berbagai macam
prahara dalam rumah tangganya hingga mencapai suatu level dimana kedua belah
pihak sudah tidak mungkin bersatu kembali, bahkan keduanya harus melakukan
sumpah di hadapan hakim bahwa pasangannya telah berzina dengan orang lain.
Inilah li’an.
Pengertian li’an
Li’an adalah saling menjauh, yakni suami-istri saling menjauh
setelah terjadi li’an selamanya. Li’an adalah sumpah suami bahwa
istrinya telah berzina (berselingkuh) dengan orang lain dan anak yang
dilahirkan istrinya akibat zina (jika ada) bukanlah anaknya.
Hukum li’an
Jika
seseorang menuduh istrinya berzina tanpa bukti, maka ia telah melakukan qadzaf
(قذف)
dan berhak mendapatkan hukum had berupa 80 kali cambukan. Allah Ta’ala
berfirman :
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ
ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً
Dan
orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka
tidak mendatangkan empat orang saksi, maka cambuklah mereka (yang menuduh itu)
delapan puluh kali cambukan” (QS. An Nuur : 4)
Had
tersebut tidak berlaku jika dia
membawa 4 orang saksi sebagai bukti. Allah Ta’ala berfirman :
وَاللَّاتِي يَأْتِينَ الْفَاحِشَةَ
مِنْ نِسَائِكُمْ فَاسْتَشْهِدُوا عَلَيْهِنَّ أَرْبَعَةً مِنْكُمْ
“Dan
(terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat
orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya)” (QS. An Nisaa : 15)
Jika
dia tidak mempunyai bukti sementara dia :
- Yakin istrinya telah berzina karena melihatnya dengan mata kepalanya sendiri, atau istrinya mengaku sendiri, atau mendapatkan kabar dari sejumlah orang yang mencapai derajat mutawatir
- Punya dugaan sangat kuat bahwa istrinya telah berzina karena adanya berbagai macam indikasi yang mengarah ke sana (semisal mendapati istrinya dan orang ketiga tidur bersama dalam 1 selimut) dan tersebarnya berita di masyarakat bahwa istrinya telah berzina atau adanya berita dari orang yang terpercaya bahwa istrinya telah berzina
maka
dia boleh melakukan li’an. Allah Ta’ala berfirman :
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ
وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ شُهَدَاءُ إِلَّا أَنْفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ
أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِينَ . وَالْخَامِسَةُ أَنَّ لَعْنَتَ اللَّهِ عَلَيْهِ إِنْ كَانَ
مِنَ الْكَاذِبِينَ . وَيَدْرَأُ عَنْهَا الْعَذَابَ أَنْ تَشْهَدَ أَرْبَعَ
شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الْكَاذِبِينَ . وَالْخَامِسَةَ أَنَّ غَضَبَ
اللَّهِ عَلَيْهَا إِنْ كَانَ مِنَ الصَّادِقِينَ
“Dan
orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada
mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu
ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk
orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa la’nat Allah atasnya,
jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari
hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah sesungguhnya suaminya itu
benar-benar termasuk orang-orang yang dusta. dan (sumpah) yang kelima: bahwa
murka Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar” (QS. An
Nuur : 6-9)
Akan
tetapi, yang lebih utama adalah tidak melakukan li’an (ingat : li’an hukumnya
boleh, bukan dianjurkan) karena dia telah menutupi aib istrinya dan termasuk
memaafkan kesalahan. Jika dia membenci istrinya, ceraikan saja. Jika masih
cinta, maka maafkan kesalahannya.
Jika istrinya melahirkan akibat zina
Jika
istrinya melahirkan seorang anak akibat zina, maka si suami wajib mengatakan
bahwa anak tersebut bukan anaknya karena tidak boleh menisbatkan anak orang
lain kepada dirinya sendiri. Ini adalah perbuatan yang haram dan terdapat
ancaman dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi orang yang
melakukannya.
Sumpah li’an
Jika
amarah sudah di ubun-ubun akibat perselingkuhan, dan ia yakin istrinya telah
berzina, maka boleh bagi suami melakukan li’an di hadapan hakim[1] atau di hadapan jama’ah di masjid[2] dan menyebutkan sumpah sebagai berikut :
أَشْهَدُ
بِاللهِ إِنَّنِي لَمِنَ الصَّادِقِيْنَ فِيْمَا رَمَيْتُ بِهِ زَوْجَتِيْ
فُلَانَةَ مِنَ الزِّنَا, وَ أَنَّ هَذَا الوَلَدَ مِنَ الزِّنَا وَ لَيْسَ مِنِّيْ
(أربع مرات)
“Aku
bersaksi –demi Allah- sungguh aku benar-benar orang yang jujur dengan tuduhanku
bahwa istriku –fulanah (sebutkan namanya)- telah berzina, dan anak ini
adalah anak zina dan bukan anakku” (sebanyak 4x)
Kemudian
ia berkata setelah hakim menasihatinya (semisal dengan mengingatkan bahwa adzab
di dunia itu lebih ringan daripada adzab di akhirat) :
وَ عَلَيَّ
لَعْنَةُ اللهِ إِنْ كُنْتُ مِنَ الكَاذِبِيْنَ
“Dan
aku berhak mendapat laknat Allah jika aku berdusta”
Reaksi istri
Jika
istri tidak terima tuduhannya, maka istri bisa juga melakukan li’an dengan
menjawab :
أَشْهَدُ
بِاللهِ أَنَّ فُلَانًا هَذَا لَمِنَ الكَاذِبِيْنَ فِيْمَا رَمَانِي بِهِ مِنَ
الزِّنَا (أربع مرات)
“Aku
bersaksi –demi Allah- bahwa fulan (sebutkan nama suami) adalah pendusta
dengan apa yang tuduhannya bahwa aku telah berzina” (sebanyak 4x)
Kemudian
ia berkata setelah hakim menasihatinya (semisal dengan mengingatkan bahwa adzab
di dunia itu lebih ringan daripada adzab di akhirat) :
وَ عَلَيَّ غَضَبُ اللهِ إِنْ كَانَ
مِنَ الصَّادِقِيْنَ
“Dan
aku berhak mendapat murka Allah jika dia adalah orang yang jujur (dengan
tuduhannya)”
Selesailah
hubungan mereka berdua selamanya setelah itu.
Dampak hukum dari li’an
Jika
seorang suami melakukan li’an, maka akan mengakibatkan 5 hal sebagai
berikut :
- Suami tidak dikenai hukum had atas perbuatannya yang menuduh istrinya berzina
- Istri dikenai hukum had, yakni dirajam sampai mati jika si istri tidak melakukan li’an balasan
- Keduanya resmi bercerai
- Jika ada anak, maka anak tersebut tidak sah dinisbatkan ke diri suami dan bukan tanggungan suami
- Keduanya tidak dapat rujuk selamanya
Dan
itulah dampak buruk perselingkuhan yang berakhir dengan li’an, saling
bersumpah antara suami dan istri.
Jika keduanya melakukan li’an
Jika
keduanya melakukan li’an, maka bisa dipastikan ada salah seorang
diantara mereka yang berdusta. Jika si suami yang berdusta, dia berhak
mendapatkan laknat Allah ‘Azza wa Jalla. Sedangkan jika si istri yang
berdusta, dia berhak mendapatkan murka Allah ‘Azza wa Jalla.
Laknat
adalah dijauhkan dari rahmat. Orang yang dimurkai oleh Allah ‘Azza wa Jalla
lebih buruk nasibnya daripada orang yang dilaknat oleh Allah ‘Azza wa Jalla (walaupun
keduanya sama-sama buruk, na’udzu billahi min dzalik).
Maka
dustanya istri lebih buruk daripada dustanya suami karena jika si suami
berdusta, maka dia hanya berdusta dalam satu perkara, yakni dalam tuduhannya
kepada si istri. Adapun jika si istri yang berdusta, maka dia sudah berzina,
berdusta pula dalam sumpahnya. Inilah sisi yang membuat hukuman terhadap
kedustaan istri lebih parah daripada kedustaan suami.
Wallahu
a’lam.
(Disarikan
dari Matnul Ghayah wat Taqrib fil Fiqhisy Syafi’I hal. 247-251 beserta
ta’liq-nya oleh Majid Al Hamawy, cet. Daar Ibnu Hazm dengan perubahan susunan
dan penambahan seperlunya)
E. HUKUMAN (SANKSI) UNTUK JARIMAH QADZAF
Dalam qadzaf akan hukuman pokok yaitu berupa dera (jild) delapan puluh kali dan hukuman tambahan berupa tidak diterimanya kasaksian yang bersangkutan selama seumur hidup. Hal ini berdasarkan firman Allah:
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَآءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلاَتَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُوْلَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ {4}
Artinya:
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat rang saksi, mak deralah mereka (yang menuduh itu delapan pulah kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya.
(QS. An-Nuur : 4)
Dalam qadzaf akan hukuman pokok yaitu berupa dera (jild) delapan puluh kali dan hukuman tambahan berupa tidak diterimanya kasaksian yang bersangkutan selama seumur hidup. Hal ini berdasarkan firman Allah:
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَآءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلاَتَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُوْلَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ {4}
Artinya:
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat rang saksi, mak deralah mereka (yang menuduh itu delapan pulah kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya.
(QS. An-Nuur : 4)
Pelaku zina
pada hakikatnya mendapat dua hukuman, yaitu hukuman fisik (dera dan rajam) yang
telah ditentukan Tuhan dan hukuman non fisik berupa hilangnya martabat yang
bersangkutan di mata masyarakat. Oleh karena itu penuduh pun berhak mendapatkan
hukuman setimpal fisik dan non fisik. Hukuman fisik berupa dera dan jild
sebanyak delapan puluh kali, sedangkan hukuman tambahan yang tak kalah
beratnya, bahkan mungkin inilah yang terberat yaitu tidak diterima kesaksiannya
dalam segala jenis peristiwa, karena ia telah berbuat bohong, atau menfitnah.
Hukuman non fisik berupa hilangnya hak kesaksian bagi si penuduh sebagai
hukuman terberat sebab hukuman ini menyebabkan berubahnya martabat si penuduh
dari kategori orang baik-baik menjadi orang yang dianggap kotor, jahat, dan
tidak dapat di pakai menjadi saksi. Adapun
pelaksanaan sanksi qadzaf yang berupa jild ini sama dengan pelaksanaan sanksi
zina, hanya jumlahnya yang berbeda.
G. HAL-HAL
YANG DAPAT MENGGUGURKAN HUKUMAN
Hukuman qadzaf dapat
terhapus/gugur karena beberapa hal diantaranya:
1. Mendatangkan sanksi
2. Bila yang dituduh membenarkan tuduhan penuduh
3. Dimaafkan oleh orang yang dituduh
1. Mendatangkan sanksi
2. Bila yang dituduh membenarkan tuduhan penuduh
3. Dimaafkan oleh orang yang dituduh
Gugur sebab dimaafkan ialah
karena had itu hak orang yang dituduh, karena inilah had ini tidak dapat gugur
kecuali dengan seizin yang tertuduh dan dengan permintaannya, sedangkan yang
tertuduh boleh memaafkannya, dan apabila si tertuduh sudah memaafkan, hukuman
(had) gugur karena had itu hak yang tertuduh semata seperti qishash.
JARIMAH MURTAD (RIDDAH)
A. Pengertian
Riddah dalam arti bahasa kembali dari sesuatu dari sesuatu yang lain. Sedang menurut syara’ sebagaimana yang di kemukakan oleh Wahbah Zuhaili “kembali dari agama Islam kepada kekafiran, baik dengan niat, perbuatan yang menyebabkan kekafiran, atau dengan ucapan.
Riddah merupakan perbuatan yang dilarang oleh Allah yang diancam dengan hukuman diakhirat, yaitu dimasukkan ke neraka selama-lamanya. Hal ini dijelaskan dalam Al-qur’an surat Al-Baqarah : 217 yaitu:
Riddah dalam arti bahasa kembali dari sesuatu dari sesuatu yang lain. Sedang menurut syara’ sebagaimana yang di kemukakan oleh Wahbah Zuhaili “kembali dari agama Islam kepada kekafiran, baik dengan niat, perbuatan yang menyebabkan kekafiran, atau dengan ucapan.
Riddah merupakan perbuatan yang dilarang oleh Allah yang diancam dengan hukuman diakhirat, yaitu dimasukkan ke neraka selama-lamanya. Hal ini dijelaskan dalam Al-qur’an surat Al-Baqarah : 217 yaitu:
“Barang siapa murtad diantara kamu
dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia
amalnya didunia dan diakhirat dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal
didalamnya.” (QS. Al-Baqarah : 217)
Rasulullah SAW. bersabda:
من بدل ديـنه فاقـتلوه (رواه البخارى عن ابن عباس)
“barang siapa menggantikan agamanya, maka bunuhlah dia.”
(HR. Bukhori dari Ibn Abbas )
Rasulullah SAW. bersabda:
من بدل ديـنه فاقـتلوه (رواه البخارى عن ابن عباس)
“barang siapa menggantikan agamanya, maka bunuhlah dia.”
(HR. Bukhori dari Ibn Abbas )
B. Unsur-Unsur Jarimah Riddah
Unsure-unsur jarimah Riddah itu ada dua macam yaitu:
1. Keluar dari Islam
2. ada I’tikad tidak baik
Yang dimaksud dengan keluara dari Islam disebutkan oleh para ulama ada tiga macam yaitu:
a. Murtad dengan perbuatan atau meninggalkan perbuatan
Maksudnya adalah melakukan perbuatan yang haram dengan menganggapnya tidak haram atau meninggalkan perbuatan yang wajib dengan menganggapnya sebagai perbuatan yang tidak wajib, baik dengan sengaja maupun menyepelekan. Misalnya sujud kepada matahari atau bulan, melelmparkan Al-Qur’an dan berzina dengan menganggap zina bukan suatu perbuatan yng haram.
b. Murtad dengan ucapan
Murtad dengan ucapan adalah ucapan yang menunjukkan kekafiran, seperti menyatakan bahwa Allah punya anak dengan anggapan bahwa ucapan tersebut tidak dilarang.
c. Murtad dengan I’tikad
Adapun murtad denga I’tikad adalah I’tikad yang tidka sesuai dengan aqidah Islam seperti beri’tikad dengan langgengnya alam, Allah itu sama dengan makhluk-Nya. Sesungguhnya I’tikad an sich tidak menyebabkan seseorang menjadi kufur sebelum dibuktikan dalam bentuk ucapan atau perbuatan, berdasarkan hadits Rasulullah SAW.:
ان الله تجاوز عن أمتى ما وسوس أو حدثت به أنفسها ما لم تعمل به أو تكلم. (رواه مسلم عن أبو هريرة)
Unsure-unsur jarimah Riddah itu ada dua macam yaitu:
1. Keluar dari Islam
2. ada I’tikad tidak baik
Yang dimaksud dengan keluara dari Islam disebutkan oleh para ulama ada tiga macam yaitu:
a. Murtad dengan perbuatan atau meninggalkan perbuatan
Maksudnya adalah melakukan perbuatan yang haram dengan menganggapnya tidak haram atau meninggalkan perbuatan yang wajib dengan menganggapnya sebagai perbuatan yang tidak wajib, baik dengan sengaja maupun menyepelekan. Misalnya sujud kepada matahari atau bulan, melelmparkan Al-Qur’an dan berzina dengan menganggap zina bukan suatu perbuatan yng haram.
b. Murtad dengan ucapan
Murtad dengan ucapan adalah ucapan yang menunjukkan kekafiran, seperti menyatakan bahwa Allah punya anak dengan anggapan bahwa ucapan tersebut tidak dilarang.
c. Murtad dengan I’tikad
Adapun murtad denga I’tikad adalah I’tikad yang tidka sesuai dengan aqidah Islam seperti beri’tikad dengan langgengnya alam, Allah itu sama dengan makhluk-Nya. Sesungguhnya I’tikad an sich tidak menyebabkan seseorang menjadi kufur sebelum dibuktikan dalam bentuk ucapan atau perbuatan, berdasarkan hadits Rasulullah SAW.:
ان الله تجاوز عن أمتى ما وسوس أو حدثت به أنفسها ما لم تعمل به أو تكلم. (رواه مسلم عن أبو هريرة)
“Sesungguhnya Allah maemaafkan
bagi umat-Ku bayangan-bayangan yang menggoda dan bergelora dalam jiwanya selama
belum diamalkan atau dibicarakan”.
(HR. Muslim dari Abu Hurairah)
Jadi, berdasarkan hadits di atas apa pun I’tikad seseorang muslim yang bertentangan dengan ajaran Islam tidaklah dianggap menyebabkan keluar dari Islam sebelum ia mngucapkan atau mengamalkannya.
(HR. Muslim dari Abu Hurairah)
Jadi, berdasarkan hadits di atas apa pun I’tikad seseorang muslim yang bertentangan dengan ajaran Islam tidaklah dianggap menyebabkan keluar dari Islam sebelum ia mngucapkan atau mengamalkannya.
C. Sanksi Riddah
Perbuatan Riddah diancam dengan tiga macam hhukuman:
1. Hukuman Pokok
Hukuman pokok jarimah riddah adalah hukuman mati, sesuai dengan sabda Rasulullah SAW. yaitu:
من بدل ديـنه فاقـتلوه (رواه البخارى عن ابن عباس)
Perbuatan Riddah diancam dengan tiga macam hhukuman:
1. Hukuman Pokok
Hukuman pokok jarimah riddah adalah hukuman mati, sesuai dengan sabda Rasulullah SAW. yaitu:
من بدل ديـنه فاقـتلوه (رواه البخارى عن ابن عباس)
“Barang siapa menggantikan
agamanya, maka bunuhlah ia”.
(HR. Bukhri dari Ibn Abbas)
Sebelum dilaksanakan hukuman, orang yang murtad itu harus diberi kesempatan untuk bertobat. Waktu yang disediakan baginya untuk bertobat itu adalah 3 hari 3 malam menurut Imam Malik. Menurut Imam Abu Hanifah, ketentuan batas waktu untuk bertobat itu harus diserahkan kepada Ulul Amri, dan batas waktu itu selambat-lambatnya 3 hari 3 malam.
Tobatnya orang yang murtad cukup dengan mengucapkan dua “kalimah syahadah”. Selain itu, ia pun mengakui bahwa apa yang dilakukannya ketika murtad bertentangan dengan agama Islam.
2. Hukuman Pengganti
Hukuman pengganti diberikan apabila hukuman pokok tidak dapat diterapkan. Hukuman pengganti ini berupa ta’zir.
3. Hukuman Tambahan
Hukuman tambahan adalah merampas hartanya dan hilangnya hak pidana untuk bertasharuf (mengelola) hartanya.
Menurut Imam Malik, Imam Syafi’I, dan Imam Ahmad bila rang murtad itu meninggal, maka hartanya menjadi harta musyi’, yaitu tidak dapat diwariskan, baik kepad aorang muslim atau kepada nonmuslim. Menurut ulama lain, harta itu dikuasai oleh pemerintah an menjadi harta fay’ . Menurut madzhab Hanafi, bila harta tersebut didapatkan pada waktu ia muslim, maka diwariskan kepada ahli warisnya yang muslim dan harta yang didapatkan ketika ia murtad, maka hartanya menjadi milik pemerintah.
(HR. Bukhri dari Ibn Abbas)
Sebelum dilaksanakan hukuman, orang yang murtad itu harus diberi kesempatan untuk bertobat. Waktu yang disediakan baginya untuk bertobat itu adalah 3 hari 3 malam menurut Imam Malik. Menurut Imam Abu Hanifah, ketentuan batas waktu untuk bertobat itu harus diserahkan kepada Ulul Amri, dan batas waktu itu selambat-lambatnya 3 hari 3 malam.
Tobatnya orang yang murtad cukup dengan mengucapkan dua “kalimah syahadah”. Selain itu, ia pun mengakui bahwa apa yang dilakukannya ketika murtad bertentangan dengan agama Islam.
2. Hukuman Pengganti
Hukuman pengganti diberikan apabila hukuman pokok tidak dapat diterapkan. Hukuman pengganti ini berupa ta’zir.
3. Hukuman Tambahan
Hukuman tambahan adalah merampas hartanya dan hilangnya hak pidana untuk bertasharuf (mengelola) hartanya.
Menurut Imam Malik, Imam Syafi’I, dan Imam Ahmad bila rang murtad itu meninggal, maka hartanya menjadi harta musyi’, yaitu tidak dapat diwariskan, baik kepad aorang muslim atau kepada nonmuslim. Menurut ulama lain, harta itu dikuasai oleh pemerintah an menjadi harta fay’ . Menurut madzhab Hanafi, bila harta tersebut didapatkan pada waktu ia muslim, maka diwariskan kepada ahli warisnya yang muslim dan harta yang didapatkan ketika ia murtad, maka hartanya menjadi milik pemerintah.
TAMBAHAN.
Apakah
Onani Sama Dengan Zina
Sayyid
Sabiq menyebutkan bahwa telah terjadi perbedaan pendapat dikalangan para ulama
dalam permasalahan onani :
1. Para
ulama madzhab Maliki, Syafi’i dan Zaidiyah berpendapat bahwa onani adalah
haram. Argumentasi mereka akan pengharaman onani ini adalah bahwa Allah swt
telah memerintahkan untuk menjaga kemaluan dalam segala kondisi kecuali
terhadap istri dan budak perempuannya. Apabila seseorang tidak melakukannya
terhadap kedua orang itu kemudian melakukan onani maka ia termasuk kedalam
golongan orang-orang yang melampaui batas-batas dari apa yang telah dihalalkan
Allah bagi mereka dan beralih kepada apa-apa yang diharamkan-Nya atas mereka.
Firman Allah swt
tûïÏ%©!$#ur öNèd öNÎgÅ_rãàÿÏ9 tbqÝàÏÿ»ym ÇÎÈ wÎ) #n?tã öNÎgÅ_ºurør& ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNåkß]»yJ÷r& öNåk¨XÎ*sù çöxî úüÏBqè=tB ÇÏÈ
5. dan orang-orang yang menjaga kemaluannya,
6. kecuali
terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka milik; Maka Sesungguhnya
mereka dalam hal ini tiada terceIa.
Adapun
apakah perbuatan tersebut termasuk kedalam dosa besar ?
Imam
Nawawi menyebutkan beberapa pendapat ulama tentang batasan dosa besar jika
dibedakan dengan dosa kecil :
Dari Ibnu
Abbas menyebutkan bahwa dosa besar adalah segala dosa yang Allah akhiri dengan
neraka, kemurkaan, laknat atau adzab, demikian pula pendapat Imam al Hasan
Bashri.
Para ulama
yang lainnya mengatakan bahwa dosa besar adalah dosa yang diancam Allah swt
dengan neraka atau hadd di dunia.
Abu Hamid
al Ghozali didalam “al Basiith” mengatakan bahwa batasan menyeluruh dalam hal
dosa besar adalah segala kemaksiatan yang dilakukan seseorang tanpa ada
perasaan takut dan penyesalan, seperti orang yang menyepelekan suatu dosa
sehingga menjadi kebiasaan. Setiap penyepelean dan peremehan suatu dosa maka ia
termasuk kedalam dosa besar.
Asy
Syeikhul Imam Abu ‘Amr bin Sholah didalam “al Fatawa al Kabiroh” menyebutkan
bahwa setiap dosa yang besar atau berat maka bisa dikatakan bahwa itu adalah
dosa besar.
Adapun
diantara tanda-tanda dosa besar adalah wajib atasnya hadd, diancam dengan siksa
neraka dan sejensnya sebagaimana disebutkan didalam Al Qur’an maupun Sunnah.
Para pelakunya pun disifatkan dengan fasiq berdasarkan nash, dilaknat
sebagaimana Allah swt melaknat orang yang merubah batas-batas tanah. (Shohih
Muslim bi Syarhin Nawawi juz II hal 113)
Dari
beberapa definisi dan tanda-tanda dosa besar maka perbuatan onani tidaklah
termasuk kedalam dosa besar selama tidak dilakukan secara terus menerus atau
menjadi suatu kebiasaan.
TAMBAHAN.
Hukum
Pacaran Menurut Agama Islam
“Janganlah
kamu sekalian mendekati perzinahan, karena zina itu adalah perbuatan yang
keji…” (QS. Al-Isra : 32).
Istilah
pacaran yang dilakukan oleh anak-anak muda sekarang ini tidak ada dalam Islam.
Yang ada dalam Islam ada yang disebut “Khitbah” atau masa tunangan. Masa
tunangan ini adalah masa perkenalan, sehingga kalau misalnya setelah khitbah
putus, tidak akan mempunyai dampak seperti kalau putus setelah nikah. Dalam
masa pertunangan keduanya boleh bertemu dan berbincang-bincang di tempat yang
aman, maksudnya ada orang ketiga meskipun tidak terlalu dekat duduknya dengan
mereka.
Kalau
dilihat dari hukum Islam, pacaran yang dilakukan oleh anak-anak sekarang adalah
haram. Mengapa haram?
Karena
pacaran itu akan membawa kepada perzinahan dimana zina adalah termasuk dosa
besar, dan perbuatan yang sangat dibenci oleh Allah. Oleh karena itu ayatnya
berbunyi sebagaimana yang dikutip di awal tulisan ini. Ayat tersebut tidak
mengatakan jangan berzina, tetapi jangan mendekati zina, mengapa demikian ?
Karena biasanya orang yang berzina itu tidak langsung, tetapi melalui
tahapan-tahapan seperti : saling memandang, berkenalan, bercumbu kemudian baru
berbuat zina yang terkutuk itu.
PENCEGAHAN
Dalam
hukum Islam umumnya, manakala sesuatu itu diharamkan, maka segala sesuatu yang
berhubungan dengan yang diharamkan itu diharamkan juga. Misalnya minum arak,
bukan hanya minumnya yang diharamkan, tapi juga yang memproduksinya, yang
menjualnya, yang membelinya, yang duduk bersama orang yang minum tersebut juga diharamkan.
Demikian
juga halnya dengan masalah zina. Oleh karena itu maka syariat Islam memberikan
tuntunan pencegahan dari perbuatan zina, karena Allah Maha Tahu tentang
kelemahan manusia.
Berikut
ini adalah pencegahan agar kita tidak terjerumus ke dalam perzinahan :
1.
Dilarang laki dan perempuan yang bukan mahram untuk berdua-duaan. Nabi Saw
bersabda : “Apabila laki-laki dan perempuan yang bukan mahram berdua-duaan,
maka yang ketiga adalah setan.” Setan juga pernah mengatakan kepada Nabi Musa
AS bahwa apabila laki dan perempuan berdua-duaan maka aku akan menjadi utusan
keduanya untuk menggoda mereka. Ini termasuk juga kakak ipar atau adik
perempuan ipar.
2. Harus
menjaga mata atau pandangan, sebab mata itu kuncinya hati. Dan pandangan itu
pengutus fitnah yang sering membawa kepada perbuatan zina. Oleh karena itu
Allah berfirman : “Katakanlah kepada laki-laki mukmin hendaklah mereka
memalingkan pandangan mereka (dari yang haram) dan menjaga kehormatan mereka
dan katakanlah kepada kaum wanita hendaklah mereka meredupkan mata mereka dari
yang haram dan menjaga kehormatan mereka (An-Nur : 30-31).
3.
Diwajibkan kepada kaum wanita untuk menjaga aurat mereka, dan dilarang mereka
untuk memakai pakaian yang mempertontonkan bentuk tubuhnya, kecuali untuk
suaminya. Dalam hadits dikatakan bahwa wanita yang keluar rumah dengan
berpakaian yang mempertontonkan bentuk tubuhnya, memakai minyak wangi baunya
semerbak, memakai make up dan sebagainya, setiap langkahnya dikutuk oleh para
malaikat, dan setiap laki-laki yang memandangnya sama dengan berzina dengannya.
Di hari kiamat nanti perempuan seperti itu tidak akan mencium baunya surga
(apalagi masuk surga).
4. Dengan
ancaman bagi yang berpacaran atau berbuat zina. Misalnya Nabi bersabda : “lebih
baik memegang besi yang panas daripada memegang atau meraba perempuan yang
bukan istrinya (kalau ia tahu akan berat siksaannya). Dalam hadits yang lain :
“Barangsiapa yang minum (minuman keras) atau berzina, maka Allah akan melepas
imannya dalam hatinya, seperti seseorang melepaskan peci dari kepalanya
(artinya kalau yang sedang berzina itu meninggal ketika berzina, ia tidak
sempat bertobat lagi, maka dia meninggal sebagai orang kafir yang akan kekal di
neraka).
Oleh
karena itu Syekh Sharwi menggambarkan : seandainya ada seorang wanita cantik
yang sudah hampir telanjang di sebuah kamar, kemudian ditawarkan kepada seorang
pemuda … “Maukah kamu saya kasihkan perempuan itu untuk kamu semalam suntuk,
tapi besok pagi saya akan masukan kamu ke kamar yang sebelahnya, yang penuh
dengan api, apakah mungkin anak muda itu akan mau untuk menikmati tubuh wanita
semalam suntuk kemudian digodok keesokan harinya dalam api?
Nah ketika
kita tergoda untuk berbuat zina atau minum, coba bayangkan kalau kita meninggal
ketika itu, bagaimana nasib kita? Tiada dosa yang lebih besar setelah syirik
kepada Allah daripada meneteskan air mani dalam suatu tempat (kehormatan) yang
tidak halal baginya. Neraka Jahannam mempunyai “Tujuh pintu gerbang” (QS.
Al-Hijr : 44), dan pintu gerbang yang paling panas, dahsyat, seram, keji, dan
bau adalah diperuntukan bagi orang-orang yang suka berzina setelah dia tahu
bahwa zina itu haram.
Sebagaimana
kita yakini sebagai seorang muslim bahwa segala sesuatu yang diharamkan oleh
Allah, mesti mempunyai dampak yang negatif di masyarakat. Kita lihat saja di
Amerika Serikat, bagaimana akibat karena adanya apa yang disebut dengan free
sex, timbul berbagai penyakit. Banyak anak-anak yang terlantar, anak yang tidak
mengenal ayahnya, sehingga timbul komplikasi jiwa dan sebagainya. Oleh karena
itu, jalan keluar bagi para pemuda yang tidak kuat menahannya adalah :
1.
Menikah, supaya bisa menjaga mata dan kehormatan.
2. Kalau
belum siap menikah, banyaklah berpuasa dan berolahraga
3. Jauhkan
mata dan telinga dari segala sesuatu yang akan membangkitkan syahwat
4.
Dekatkan diri dengan Allah, dengan banyak membaca Al-Qur’an dan merenungkan
artinya. Banyak berzikir, membaca shalawat, shalat berjamaah di Masjid,
menghadiri pengajian-pengajian dan berteman dengan orang-orang yang shaleh yang
akan selalu mengingatkan kita kepada jalan yang lurus.
5. Dan
ingat bahwa Allah telah menjanjikan kepada para anak muda yang sabar menahan
pacaran dan zina yaitu dengan bidadari, yang kalau satu diantaranya menampakkan
wajahnya ke alam dunia ini, setiap laki-laki yang memandangnya pasti akan jatuh
pingsan karena kecantikannya. Coba anda bayangkan saja siapa menurut anda wanita
yang paling cantik di alam dunia ini, maka pastilah bidadari itu entah berapa
juta kali lebih cantik dari wanita yang anda bayangkan itu
0 komentar:
Posting Komentar